Lihat angka di judul? Sekarang satukan angka itu dengan satuan yang mengikutinya untuk melihat konteks yang utuh. Sebuah rentang waktu yang lama bukan? Ternyata sudah selama itu saya bernafas dan dikategorikan sebagai benda hidup. Tidak ada yang spesial dari angka itu bukan? Hanya sederet digit random dengan dimensi yang juga bersifat arbitrer.
Terlepas dari betapa tidak bermakna judul tersebut, saya menulis tulisan ini hanya untuk melepas beban tugas akhir sejenak. Sudah terhitung lama sejak terakhir kali saya menulis di Medium karena saya harus mengutamakan kemajuan tugas akhir saya. Di hari ke-8,036 dalam hidup saya ini, saya hanya ingin merenungkan keberadaan saya. Sejenak saja, malam ini saja, sebelum saya kembali melanjutkan pekerjaan utama saya yaitu turut menghabiskan persediaan oksigen di bumi kita tercinta ini.
Ah, ralat. Saya ingin merenungkan bagaimana kalau saya mati? Tentu saya sebagai manusia juga senantiasa dihantui ketakutan akan kematian. Sebenarnya bukan kematian itu sendiri yang menakutkan bagi saya, tetapi tidak adanya jaminan bahwa pemikiran-pemikiran atau ide-ide saya tentang berbagai hal tetap hidup, tidak turut mati, lenyap bersama tubuh saya kelak. Saya tidak tahu apakan teman-teman yang membaca tulisan ini memiliki ketakutan yang sama dengan saya atau tidak, namun saya harap teman-teman pembaca bisa memahaminya.
Apabila teman-teman sudah berhasil memahami ketakutan saya, terlebih lagi menempatkan diri sebagai saya, apakah teman-teman akan bersyukur atas setiap hari baru yang teman-teman rasakan? Pertanyaan klise, ya. Hm. Saya paham jawaban tiap-tiap orang akan berbeda karena pada hakikatnya ragam pemikiran itu (paling tidak yang saya percaya) berupa spektrum, namun untuk menyederhanakan seluruh omong kosong tersebut, saya akan membaginya menjadi 2 pandangan umum yang menghilangkan garis bernuansa abu-abu di antara bidang hitam dan bidang putih yang ada:
- Pandangan pertama: Ia akan selalu bersyukur karena ia memandang bahwa ia masih diberi kesempatan untuk hidup. Acuan yang digunakan olehnya adalah hari kelahirannya. Angka total hari yang dijalaninya semakin bertambah. Apabila saya mengambil posisi sebagai dirinya, saya akan bersyukur karena kesempatan untuk hidup berarti kesempatan untuk mengusahakan dan memperjuangkan ide-ide atau pemikiran-pemikiran saya… apapun bentuk perjuangan itu.
- Pandangan kedua: Ia akan selalu mengutuk karena ia memandang bahwa satu-persatu jatah hidupnya diambil darinya. Acuan yang digunakan olehnya adalah hari kematiannya. Angka total hari yang tersisa baginya semakin berkurang. Apabila saya mengambil posisi sebagai dirinya, saya akan mengutuk karena berkurangnya kesempatan untuk hidup berarti berkurangnya waktu yang tersisa bagi saya untuk memperjuangkan ide-ide atau pemikiran saya… sekali lagi, apapun bentuk perjuangan itu.
Saya menyebut “Pandangan pertama” dan “Pandangan kedua” karena saya tidak dapat menilai mana yang “hitam” dan mana yang “putih”. Keduanya sama-sama realistis. Keduanya bukanlah kebohongan. Sama seperti analogi yang tak kalah klise tentang gelas setengah penuh atau setengah kosong. Dahulu saya turut serta memberi cap optimis bagi penganut mazhab “setengah penuh” dan cap pesimis bagi para saksi yang menyatakan “setengah kosong”. Namun dari perspektif saya saat ini, saya meragukan sistem penilaian itu. Hahah.
Saya rasa tidak akan pernah ada cukup kertas (atau dalam kasus ini laman) yang cukup untuk membahas pasangan yang dikenal dengan sebutan “kehidupan — kematian” ini. Toh, banyak juga emosi yang bertaburan, bertebaran (referensi Efek Rumah Kaca, maaf) yang tidak bisa diwakili dengan kata-kata. Oleh karena itu, saya ingin menutup tulisan ini dengan sebuah lagu yang mewakili carut-marut emosi saya saat ini. Selamat merenung apabila teman-teman pembaca memutuskan untuk… turut merenungi tulisan ini…ya, dan selamat menikmati lagu ini apabila teman-teman ingin mendengarkan lagu ini, sebuah lagu tentang tarian antara status “ada untuk sementara” dan “lenyap untuk selamanya”.