Luapan emosi. Itulah isi tulisan ini. Jangan berharap ada deduksi logika di sini. Saya juga bisa muak dengan proses berpikir logis yang diagung-agungkan banyak orang. Ada waktunya saya menjadi seorang yang egois dan sentimental. Peduli setan. Tenang, saya tidak berubah karena memang sulit untuk berubah apabila kalian telah berada pada umur yang sama dengan saya. Karakter saya sudah diresmikan oleh diri saya sendiri walaupun beberapa aspek tetap di luar kehendak saya. Saya tidak pernah dan tidak akan pernah menjadi orang lain karena saya bangga dengan diri ini. Hanya saja tolong dipahami bahwa saya sebagai manusia sejatinya bukan makhluk linier. Saya sama seperti kalian semua yang membaca tulisan ini; multidimensional. Secara fisik saya dan kalian tentu tergolong makhluk tiga dimensi,anggaplah empat jika kalian penganut mazhab kesatuan ruang-waktu, namun saya tidak dapat menyebut angka pasti dalam hal karakter yang saya rasa terdiri dari banyak vektor kusut yang saya yakini tiap orang memiliki komposisi unik. Saya sebut vektor karena masing-masing orang memiliki ramuan bobot dan arah tersendiri terkait perihal kumpulan nilai dan norma yang dipegangnya.
Ha! Entah kian kemari bahasan tadi. Mari kita beri koridor. Kali ini saya memberanikan diri menulis salah satu sentimen saya terhadap dua buah objek di alam semesta ini. Kedua objek ini sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari, secara idiomatik tentunya. Kedua objek tersebut adalah Matahari dan Bulan. Sentimen saya terhadap kedua benda ini agaknya tidak dapat dipisahkan dari sentimen terhadap pasangan-pasangan oposisi biner terkait seperti gelap dan terang tetapi tentu akan sangat nirfaedah jika saya membahasnya secara terpisah. Saya anggap kalian sudah bisa melihat seluruhnya sebagai sebuah kesatuan. Oleh karena itu, saya akan membuka rangkaian omong kosong ini dengan pernyataan yang mewakili sentimen saya terhadap Matahari dengan singkat, padat, dan juga semoga jelas:
Aku benci Matahari
Karena Mentari menyingkap semuanya. Apa yang benar dan apa yang salah, apa yang baik dan apa yang buruk. Bagaimana mungkin saya mencintai Sang Surya? Saya benci. Benci bilamana saya dipertontonkan kepada seluruh dunia di luar kehendak diri, benci diperlihatkan kepada alam semesta di saat saya sedang tidak ingin muncul. Ada banyak hal yang saya sembunyikan dalam peti mati suri berwujud seekor makhluk yang disebut “manusia” ini. Diri yang bengis dan haus darah tapi di saat yang bersamaan mampu menyayangi manusia lain yang bahkan tidak memiliki ikatan darah. Suara-suara yang senantiasa berbisik dan terkadang berteriak di dalam benak, segala citra yang dibangun dan diruntuhkan atas perintah kumpulan suara tersebut, figur-figur gelap nan menakutkan yang selalu menghantui saya dalam tidur, semua itu saya izinkan diketahui hanya oleh barangsiapa yang saya rasa berhak mengerti saya dan saya mengerti. Kalian yang membaca tulisan ini sejauh ini pun saya rasa sudah cukup berjuang untuk mencoba mendengarkan ratapan jiwa yang entah berapa lama telah saya pendam. Bukan, bukan karena saya tidak ingin menumpahkan semua ini. Saya ingin, sangat ingin, namun apa daya saya tidak mampu. Saya tidak bisa menyampaikan pesan yang mengandung perasaan saya dalam kemurniannya dengan baik. Tidak akan ada satupun dari kalian yang akan mengerti saya sepenuhnya, demikian pula sebaliknya. Sebaik-baiknya kemampuan saya mengolah emosi untuk disampaikan kepada insan lain hanyalah sebatas melalui tulisan absurd nan berantakan atau melalui sekumpulan bunyi tanpa makna inheren yang diucapkan oleh jemari saya melalui medium berupa rangkaian potongan-potongan kayu dengan enam dawai logam yang menghiasi tubuh benda eksotis itu. Hm, entah mengapa mereka semua menyebutnya “gitar”.
Orang-orang yang mengenal saya tentu tahu kalau saya bukan orang yang pandai menyusun kata-kata, apalagi menjadikan kumpulan kata tersebut bernuansa puitis. Sulit rasanya menciptakan lirik untuk melengkapi potongan-potongan musik yang berhasil saya realisasikan karena seringkali saya merasa kata-kata tidak dapat mewakili perasaan dan kebebasan interpretasi yang saya agung-agungkan sekaligus saya coba bagikan kepada para pendengar musik ciptaan saya. Mungkin beberapa dari kalian pernah mendengarkan satu atau dua potong permainan saya. Sadarkah kalian kalau hanya ada dua nuansa dominan dalam gaya bermain saya yang keluar secara alami tanpa perlu berpikir? Beringas dengan badai distorsi dan/atau sendu total. Dua kutub yang berlawanan, namun anehnya terkadang muncul bersamaan dan memutuskan untuk bercinta dalam benak saya hingga jemari saya melahirkan apa yang mereka inginkan. Keras sekalian atau halus sekalian disertai selingan kerasnya kehalusan atau halusnya kekerasan, begitulah kira-kira. Dari mana datangnya semua karakter permainan saya tersebut? Kembali lagi tentunya dari jiwa dan pikiran saya. Ya! Jiwa dan pikiran yang tadi saya katakan selalu digentayangi suara-suara dan figur-figur entah apa. Silakan kalian anggap saya terganggu, silakan kalian anggap saya sakit, tetapi tetap camkan: bukankah setiap orang memiliki bobot dan arah tertentu terkait nilai dan norma yang dipegangnya? Toh, bukankah kumpulan benang kusut itu yang menjadikan saya seperti yang kalian kenal sekarang?
Namun sayang beribu sayang, saya akhirnya sadar dan terbangun dari sebuah mimpi yang indah dan nampaknya tak bercacat. Sebuah mimpi di mana semua manusia dapat saling memahami dan menerima manusia lainnya sebagaimana ia menerima dirinya sendiri. Terkadang manusia tidak mampu memahami manusia lainnya. Mirisnya, justru seringkali seorang manusia paham akan tetek-bengek manusia lain di sekitarnya namun tidak menerima, entah itu karena tidak bisa ataupun sekedar tidak mau. Tentunya, salah satu manusia tersebut adalah saya. Sebelumnya telah saya curahkan kegeraman saya saat dipertontonkan kala ingin bersembunyi. “Kenapa bersembunyi? Bukankah di awal tadi kamu menyatakan bahwa kamu bangga dengan dirimu?” Ya, tapi untuk apa saya perlihatkan semuanya jika kalian ujung-ujungnya menakar semuanya dengan takaran kalian sendiri lagi tanpa sedikitpun berusaha memahami saya? Toh, kalau kembali ke musik yang saya ciptakan, saya yakin kalaupun kalian menikmati hasilnya yang dapat kalian dengar itu, kalian tidak akan ingin menemani saya dalam prosesnya, apalagi ide-ide tersebut seringkali lahir dari hal-hal yang absurd bahkan mungkin menggelikan atau menjijikkan bagi kalian, hm.
Seluruh kata-kata yang berhasil saya tuliskan dalam tulisan ini saya tuliskan pada malam hari menjelang subuh. Waktu saat ini menunjukkan pukul 3:54 dini hari. Hampir setiap tulisan saya selalu saya unggah dalam rentang waktu pukul 23:00 hingga 05:00 keesokan harinya. Tulisan ini, seperti tulisan lainnya, saya kerjakan dalam kesendirian di persembunyian saya. Sesekali untuk membantu saya memperkuat sentimen, saya menengok ke jendela. Tentu tidak ada orang di sana, apalagi hantu. Namun ada satu sosok yang setia menemani saya di malam-malam penuh badai pikiran seperti ini; ialah Bulan. Saya selalu merasa apapun yang saya alami, apapun yang saya lakukan, mulai dari yang bermoral hingga patut dilaknat, dari yang masuk akal hingga sinting, lebih nyaman dilakukan di malam hari terutama saat Rembulan sedang bertugas menggantikan Matahari yang saya benci itu menerangi langit…seperlunya.
Aku suka Bulan
Itulah sentimen saya terhadap Rembulan. Tiap kali saya menatap ke langit malam, kehadirannya selalu membawa ketenangan tersendiri bagi saya. Saya merasa diterima. Seluruh rahasia dan kisah yang saya ceritakan dari, oleh, dan untuk saya selalu saya tuangkan di bawah naungan cahayanya. Tak jarang juga saya memproyeksikan wajah orang yang saya cintai di sana. Tidak seperti Matahari yang terlalu menyilaukan dan sombong untuk ditatap, Bulan dengan seluruh kerendahan hatinya selalu memberi ruang bagi manusia seperti saya untuk mengagumi dirinya. Saya rasa sentimen ini juga berperan besar dalam kehidupan nokturnal saya. Saya selalu merasa segar di malam hari. Ah, tapi itu bahasan lain lagi. Saya cukupkan dulu badai sentimen ini, kembali menjadi pabrik asap yang duduk di sisi jendela sembari kembali menatap Rembulan; memproyeksikan si cantik yang membuatku sinting. Rangkaian kata ini tertulis, saya merenung
…dan Rembulan tersenyum paham