Darurat Sipil: “Elu Makan Apa Kagak Bukan Urusan Gua” — Pemerintah

Wisnu!
6 min readApr 4, 2020

Jadi baru-baru ini kita disajikan berita bahwa pak presiden melontarkan wacana memberlakukan kebijakan baru dalam rangka penanggulangan wabah COVID-19 ini, yaitu penerapan Darurat Sipil. Mungkin sebelum saya mulai memaki-maki seperti biasanya, ada baiknya kita gali sedikit lebih lanjut mengenai kebijakan Darurat Sipil itu sendiri. Makhluk apa sih itu sebenarnya?

Darurat Sipil pada dasarnya adalah sebuah status yang disematkan oleh pengelola negara terhadap keadaan negara yang dikelolanya. Dalam kasus ini, pengelola negara yang dimaksud adalah pihak pemerintah yang diwakili oleh presiden. Dalam undang-undang memang disebut bahwa presiden memegang wewenang untuk mengumumkan status ini, namun demikian ada syarat bahwa presiden harus dibantu oleh lembaga-lembaga negara dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. Oleh karena itu saya anggap presiden hanya perwakilan dari elemen-elemen pemerintahan yang sudah mengkaji dan setuju akan aplikasi status Darurat Sipil. Ya, memang yang jadi masalah buat kita semua adalah kita tidak tahu elemen pemerintahan mana saja yang turut andil dalam proses kajian yang berujung wacana Darurat Sipil ini.

Nah, mengutip dari dokumen terkait mengenai Darurat Sipil, ada beberapa syarat yang harus terpenuhi (atau dipenuhi, kalau memang masyarakat mau dijadikan objek guyonan yang tidak lucu oleh pemerintah) agar pemerintah sah menyematkan status ini terhadap negara atau bagian dari wilayah negara kita tersayang ini:

  1. “Keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa;
  2. Timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga;
  3. Hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.”

Sesuai dengan paragraf sebelumnya juga, Perpu Nomor 23 Tahun 1959 tentang Pencabutan UU Nomor 74 Tahun 1957 dan Menetapkan Keadaan Bahaya — Pasal 1 menyebutkan bahwa “status darurat sipil, darurat militer, maupun perang, hanya diumumkan oleh presiden atau panglima tertinggi angkatan perang, baik itu untuk seluruh maupun sebagian wilayah”.

Lalu apa saja konsekuensi dari pelaksanaan kebijakan Darurat Sipil itu sendiri? Dari dokumen terkait, begini bunyinya:

“Pasal 18 ayat 1:

Penguasa Darurat Sipil berhak mengadakan ketentuan bahwa untuk mengadakan rapat-rapat umum, pertemuan-pertemuan umum dan arak-arakan harus diminta izin terlebih dahulu. lzin ini oleh Penguasa Darurat Sipil diberikan penuh atau bersyarat. Yang dimaksud dengan rapat-rapat umum dan pertemuan-pertemuan umum adalah rapat-rapat dan pertemuan-pertemuan umum yang dapat dikunjungi oleh rakyat umum.

Pasal 12

  1. Di daerah yang menyatakan dalam keadaan darurat sipil, setiap pegawai negeri wajib memberikan segala keterangan yang diperlukan oleh Penguasa Darurat Sipil, kecuali apabila ada alasan yang sah untuk tidak memberikan keterangan-keterangan itu.
  2. Kewajiban memberikan keterangan ditiadakan, jika orang yang bersangkutan, istri/suaminya atau keluarganya dalam keturunan lurus atau keluarganya sampai cabang kedua, dapat dituntut karena keterangan itu.
  3. Pejabat-pejabat yang di dalam melakukan tugasnya memperoleh keterangan-keterangan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, wajib merahasiakan, kecuali apabila peraturan perundang-undangan pusat yang lain menentukan sebaliknya.

Pasal 13

Penguasa Darurat Sipil berhak mengadakan peraturan-peraturan untuk membatasi pertunjukan-pertunjukan,percetakan, penerbitan, pengumuman, penyampaian, penyimpanan, penyebaran, perdagangan dan penempelan tulisan-tulisan berupa apapun juga, lukisan-lukisan, klise-klise dan gambar-gambar.

Pasal 14

  1. Penguasa Darurat Sipil berhak atau dapat-menyuruh atas namanya pejabat-pejabat polisi atau pejabat-pejabat pengusut lainnya atau menggeledah tiap-tiap tempat, sekalipun bertentangan dengan kehendak yang mempunyai atau yang menenpatinya, dengan menunjukkan surat perintah umum atau surat perintah istimewa.
  2. Pejabat yang memasuki, menyelidiki atau yang mengadakan penggeledahan tersebut dibuat laporan pemeriksaan dan menyampaikan kepada Penguasa Darurat Sipil.
  3. Pejabat yang dimaksudkan di atas berhak membawa orang-orang lain dalam melakukan tugasnya. Hal ini disebutkan dalam surat laporan tersebut.

Pasal 15

  1. Penguasa Darurat Sipil berhak akan dapat menyuruh memeriksa dan menyita semua barang yang diduga atau akan dipakai untuk mengganggu keamanan serta membatasi atau melarang pemakaian barang itu.
  2. Pejabat yang melakukan penyitaan tersebut di atas harus membuat laporan penyitaan dan menyampaikannya kepada Penguasa Darurat Sipil dalam waktu tiga kali dua puluh empat jam.
  3. Terhadap tiap-tiap penyitaan, pembatasan atau larangan, maka yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan kepada Penguasa Darurat Sipil.

Pasal 16

Penguasa Darurat Sipil berhak mengambil atau memakai barang-barang dinas umum.”

Loh-loh, kok jadi bau-bau lalala*ORBA*lalala begitu? Ini jadi sangat aneh ketika sebetulnya ada saja kebijakan yang (sepertinya) lebih masuk akal untuk diterapkan dari sudut pandang rakyat. Hal yang sudah diterapkan sekarang adalah Pembatasan Sosial atau istilah British-nya Social Distancing. Kita akui saja, rakyat memang masih banyak yang sudah bandel, goblok, hidup lagi. Sudah dijelaskan kalau ini demi kesehatan pribadi dan orang lain, masih saja kumpul-kumpul di wilayah terbuka dalam jumlah besar (paling klise soal kegiatan ibadah, kalau diingatkan soal COVID-19, jawabnya, “Kan ada [masukkan nama tuhan di sini]. Kamu gak percaya sama kuasa [masukkan nama tuhan yang sama di sini]?”). Singkat cerita, kita bisa menyimpulkan bahwa kebijakan Pembatasan Sosial tidak begitu efektif.

Sekarang teman-teman pembaca pernah dengar sebuah alternatif kebijakan bernama Karantina Wilayah? Dari namanya saja sudah terdengar sedikit lebih ramah dibandingkan Darurat Sipil, bukan? Makhluk apa lagi itu?

Karantina Wilayah adalah kebijakan yang menuntut sekelompok masyarakat keluar dari wilayah tempat mereka berada saat kebijakan tersebut diberlakukan. Bedakan dengan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) yang melarang mobilisasi individu dari satu wilayah ke wilayah lain. Dalam skenario Karantina Wilayah, penduduk dapat melakukan kegiatan mobilisasi asal tetap dalam lingkup wilayah tempat mereka berada saat kebijakan diterapkan. Tentunya, PSBB tetap harus dijadikan imbauan karena dipastikan golongan masyarakat yang masih punya akal sehat atau minimal tidak tolol stadium lanjut akan menuruti imbauan tersebut atas dasar alasan-alasan yang dapat mereka deduksi sendiri. Kebijakan ini juga lebih ramah terhadap masyarakat kelas menengah ke bawah. Kita ambil contoh mitra transportasi daring. Kita mungkin enak, kalau mau makan tinggal kontak mereka untuk memesankan dan membawakan makanan ke tempat kita bertapa. Lah, kalau mereka? Kan harus bergerak untuk memenuhi keinginan kita tadi. Lebih tepatnya, mereka dapat penghasilan dari pekerjaan mereka yang memang berupa jasa memesankan dan mengantarkan makanan ke pintu hunian kita masing-masing, bukan?

Kembali ke topik mengenai Karantina Wilayah. Ada baiknya kita bedakan dahulu dengan PSBB lebih lanjut. Dalam situasi PSBB:

  1. “PSBB ditetapkan oleh menteri, dalam kasus ini Menkes tentunya (Pasal 49 ayat 3)
  2. Peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum (Pasal 59 ayat 3)
  3. Disebutkan di suatu wilayah tertentu (Pasal 59 ayat 2)”

Sebagai pembanding, dalam skenario Karantina Wilayah:

  1. “Karantina Wilayah diberlakukan oleh pemerintah pusat dengan melibatkan pemerintah daerah dan pihak terkait (Pasal 55 ayat 2)
  2. Anggota masyarakat yang dikarantina tidak boleh keluar masuk wilayah karantina (Pasal 54 ayat 3)
  3. Dilaksanakan kepada seluruh anggota masyarakat di suatu wilayah (Pasal 53 ayat 2)
  4. Selama karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat (Pasal 55 ayat 1)
  5. Wilayah yang dikarantina dijaga oleh POLRI (Pasal 54 ayat 2)”

Sekarang coba teman-teman pembaca teliti kedua kebijakan tersebut dan bandingkan kembali dengan Darurat Sipil. Bukankah lebih baik dampaknya bagi aktivitas sosial dan ekonomi rakyat? Lebih jauh lagi, dari pihak pemerintahan yang dibuat repot hanya jajaran POLRI. Elemen militer tidak perlu turut berurusan dengan benang kusut ini.

Well, surprise bitches. Guess what? Coba baca kembali penjelasan saya mengenai kebijakan Karantina Wilayah poin nomor 4. Ternyata pemerintah juga dibuat repot dari segi finansial apabila Karantina Wilayah diberlakukan. Pejabat-pejabat sipil tidak bisa lagi makan duit yang bukan jatah mereka. Harus ada alokasi dana darurat yang ditujukan untuk penanggulangan wabah COVID-19 serta dampak dari wabah yang kita alami ini. BAM! Mau tahu yang lebih mantap lagi? Dalam dokumen terkait Darurat Sipil disebutkan bahwa dalam kondisi Darurat Sipil, pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat bukan menjadi tanggung jawab pemerintah. DOUBLE BAM!! Lalu terkait elemen militer yang turut dibuat repot? Dari sudut pandang pemerintahan tentunya tidak masalah. Toh, sudah kewajiban mereka melaksanakan perintah atasan, termasuk perintah presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pemerintahan sipil dan militer (salah satu perks of sistem presidensial, tapi panjang lagi nanti kalau saya misuh-misuh soal itu, bisa satu tulisan lagi sendiri).

Jadi dari sudut pandang pemerintah, agaknya kerugian finansial yang dialami via Darurat Sipil lebih kecil dibandingkan yang dialami via Karantina Wilayah. Walaupun sebetulnya saya tidak habis pikir juga, kenapa bisa sampai terpikir begitu kalau memang betul? Bukankah roda ekonomi akan lebih ringan dijalankan apabila masyarakat masih dapat melakukan aktivitas ekonomi yang lebih mirip dengan aktivitas ekonomi yang dilakukan saat kondisi normal? Ah tapi kembali lagi, siapa saya memang? Gelar juga hanya S.T. bukan S.E., lebih tertarik dengan bagaimana cara misil bisa meledug di muka orang-orang idiot dibandingkan bagaimana cara membuat airline yang untung. Kalau ada yang bisa menjelaskan ke saya, akan sangat saya hargai. Minimal saya jadi sedikit lebih pintar ke arah sono.

Jadi terpikir soal driver gojek/grab. Bayangkan kalau sampai Darurat Sipil diberlakukan, bagaimana nasib mereka? Di rumah mati kelaparan, di luar mati digebukin aparat (beruntung kalau mati karena penyakit, minimal mayatnya mulus tanpa lebam-lebam). Tapi ya kumahow, Bapak Presiden? Numpang mengutip teman saya:

“Dari awal gua mau milih dia jadi presiden, gua udah tau ini kebebasan gua bakal dihabisin *ketawa gede-gede*” — Christoforus B.T.H., S.Sc.

--

--