Edisi 74 Tahun Indonesia: Konflik Antara Ilmu Pengetahuan dan Dogma
Tulisan ini berangkat dari antusiasme saya terhadap dunia ilmu pengetahuan dan pendidikan baik formal maupun informal. Sudah sering rasanya kita semua mendengar kasus di mana siswa yang mempertanyakan penjelasan gurunya dianggap tidak sopan atau sok tahu, anak kecil yang mungkin bertanya “kenapa langit berwarna biru?” kepada orangtuanya dianggap bertanya yang aneh-aneh, buku-buku tertentu diharamkan oleh negara, generasi tua menyekolahkan generasi muda namun ketika generasi muda berusaha mendidik generasi tua sebagai balas jasa dianggap kurang ajar, situs-situs hiburan yang rasanya tak berbahaya diblokir, dan sebagainya. Seringkali saya bertanya kepada diri saya sendiri dan beberapa teman yang memiliki kesadaran akan kenyataan tersebut — kenapa? Kenapa fenomena-fenomena di atas dapat terjadi dari lingkungan masyarakat luas bahkan hingga institusi pendidikan formal? Apa yang harus diubah untuk menyelesaikan masalah yang ada? Atau…memang ada masalah dengan kejadian-kejadian di atas?
Bagi saya yang kebetulan seorang mahasiswa, ya. Ada yang tidak beres dengan kejadian-kejadian di atas. Dalam suatu peradaban yang — anggaplah benar-benar menjunjung tinggi perkembangan ilmu pengetahuan (FYI, salah satu tujuan berdirinya NKRI adalah mencerdaskan kehidupan bangsa), seharusnya yang menjadi prioritas adalah mencari kebenaran, bukan pembenaran. Kenapa tiba-tiba keluar kata pembenaran? Karena pembenaran hadir ketika ada rasa tidak terima atau penyangkalan terhadap fakta bahwa telah terjadi kesalahan baik dalam tindakan maupun pikiran. Kembali lagi ke fenomena-fenomena tersebut berarti — ya, saya menyadari ada yang salah.
Pada dasarnya, manusia bertanya karena tidak tahu atau hanya ingin sekadar menguji. Untuk saat ini, mari kita abaikan bajingan-bajingan yang hobinya hanya sekadar ngetes karena seringkali kehadiran mereka tidak penting, cuma menghabiskan ruang dan waktu. Eliminasi tersebut menyisakan orang-orang yang bertanya dengan tulus demi mendapat sesuatu yang baru alias orang-orang yang penting untuk dibahas.
Studi di bidang psikologi menunjukkan ketika seseorang — terutama anak kecil — bertanya dan pertanyaannya dianggap tak penting, ia akan cenderung mengurangi sifat penuh rasa ingin tahu yang ia miliki dan lebih memilih menyimpan semuanya atau turut menganggap bahwa rasa penasaran itu tidak penting (lagi malas kasih sumber karena lupa dan malas cari-cari dokumen lagi, maaf ya). Kejadian ini umumnya melibatkan 2 pihak yang berbeda usia — pelaku biasanya berada di posisi lebih tinggi dan korban berada di posisi lebih rendah. Kata tinggi dan rendah di sini dapat dikaitkan dengan berbagai macam status sosial. Yang paling umum adalah usia, namun bisa juga status pendidikan, jabatan, harta kekayaan, kekuasaan, dan lain-lain. Dalam kasus ini, terjadi pembatasan dalam berpikir. Korban dilarang memikirkan hal-hal yang pada saat itu mungkin memang menyita perhatiannya. Di sisi lain, pelaku biasanya memiliki 2 kemungkinan alasan untuk melakukan pembatasan tersebut. Pelaku bisa jadi sebenarnya tahu jawaban pertanyaan tersebut namun sengaja menahan informasi karena satu dan lain hal atau kemungkinan lain adalah pelaku tidak tahu jawaban pertanyaan tersebut dan gengsi untuk mengakui ketidaktahuan tersebut. Alasan pertama masih saya anggap wajar karena pada dasarnya manusia sebagai makhluk hidup dan makhluk sosial memiliki kepentingan masing-masing. Apabila membuka mulut berpeluang mengancam hidupnya atau mengancam status sosialnya, seseorang dapat memilih untuk diam. Yang sialan adalah pelaku yang berbuat demikian hanya karena sekadar tertelan gengsi.
Gengsi datang dari keinginan mempertahankan citra diri. Orang yang gengsi berusaha menghilangkan atau menyangkal fakta bahwa dirinya sama seperti manusia pada umumnya yang penuh ketidaktahuan dan kelemahan. Ketidaktahuan dan kelemahan tiap orang berbeda satu dengan yang lain. Just common human things. Orang-orang penuh gengsi tersebut ingin tetap terlihat lebih tinggi dibanding — rasanya seisi dunia kalau bisa. Mereka adalah jenis orang yang ingin unggul bukan dengan cara berusaha meningkatkan kualitas diri namun dengan cara menjatuhkan orang lain. Orang-orang ini umumnya sadar bahwa pengetahuannya telah mencapai suatu fase plato namun memutuskan untuk merasa cukup. Namun rasa cukup tiap orang berbeda, tak terkecuali dalam hal mengejar ilmu atau memperluas wawasan.
Kalau dipikirkan kembali, tidak pernah ada tuntutan kepada tiap orang untuk mempertahankan gengsi. Bahkan kita semua generasi muda mungkin setuju kalau sifat gengsi umumnya hanya menghambat dan memberi hasil yang tidak baik untuk banyak hal dalam hidup, apalagi dalam dunia pendidikan. Mengapa orang-orang ini memutuskan untuk berjuang bagi citra dirinya yang mungkin saja orang lain tidak ambil pusing? Di situlah masuk dogma.
Dogma — kasarnya — adalah pandangan yang diamini oleh seseorang atau sekelompok orang yang dianggap tidak dapat diganggu gugat. Anehnya, di Indonesia ada dogma tak tertulis yang populer di kalangan generasi Orde Baru yang menganggap orang-orang yang lebih tinggi status sosialnya — misal lebih tua, lebih kaya, lebih berkuasa, lebih tinggi pendidikannya — adalah otoritas yang berhak menentukan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang penting dan mana yang tidak. Namun sifat paling toxic dari orang-orang ini adalah — you know it — gila hormat.
Guru yang menganggap argumen murid (asumsi disampaikan dengan sopan) sebagai bentukan sikap kurang ajar memiliki obsesi terhadap statusnya sebagai pengajar dan tak ingin status pengajar tersebut cedera karena kehadiran status lain seperti pembelajar. Alih-alih menerima fakta bahwa ia mungkin saja salah, ia malah berusaha membuang kemungkinan sang murid berkata benar. Orangtua yang menganggap pertanyaan anaknya tidak penting memiliki obsesi terhadap statusnya sebagai wakil Tuhan (menurut agama saya, eh, koreksi — paling tidak nama agama yang tertulis di KTP saya). Pemenuhan tuntutan anak menghormati orangtua seringkali tak sebanding dengan pemenuhan tuntutan orangtua sebagai teladan. Dengan jabatan bernama wakil Tuhan tidak heran orangtua terkadang (atau seringkali) tidak terima kalau mereka tidak mampu menjawab pertanyaan anaknya…ya…namanya juga wakil Tuhan, mana mungkin salah dan pasti tahu segalanya bukan? Hehe. Ya, mereka takut status luar biasa mereka itu cedera. Generasi tua yang percaya komunis sama dengan ateis tidak terima ketika diberi tahu bahwa kedua hal tersebut bahkan berada di bawah 2 payung pembahasan berbeda. Funfact yang tidak fun, komunis itu paham ekonomi yang memperjuangkan kaum proletar sedangkan ateis itu hanya sekadar tidak percaya adanya tuhan apapun dan berbeda dengan anti-teis, anti-reliji dan ireliji. Generasi tua yang bersikap demikian merasa karena mereka telah hidup lebih lama, mereka pasti tahu lebih banyak dan pengalaman pribadi mereka sangat bisa diandalkan alias reliable (kalau kamu presentasi ke dosen dan bawa pengalaman pribadi sebagai sumber, kamu paling disuruh istighfar, paling mantap disuruh ikut exorcism). Untuk kasus situs hiburan yang diblokir dan larangan peredaran buku tertentu oleh negara, teman-teman pembaca mungkin bisa mendeduksi sendiri. Saya tidak akan komentar eksplisit dulu, takut ditangkap aparat. Hahay.
Lingkaran jahat tersebut dapat kita setujui sebagai salah satu penyebab perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia terhambat. Solusi terbaik untuk mengakhiri fenomena ini adalah dengan cara menempatkan ilmu pengetahuan di atas ego pribadi. Terima kenyataan bahwa kita sebagai orang Indonesia — atau sebagai manusia, lebih umum — penuh ketidaktahuan dan kelemahan. Faktanya, untuk tiap hal yang kita ketahui, minimal akan muncul 6 pertanyaan yang pasti mengikuti —kita kenal sebagai 5W1H. “Menyalakan lilin lebih berguna daripada mengutuki kegelapan”, kata orang bijak. Mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berujung menambah wawasan lebih baik daripada menjadikan orang lain tumbal keterbatasan wawasan kita. Wawasan yang kita peroleh bisa jadi berguna besok, bisa jadi berguna tahun depan, bisa jadi berguna satu dekade lagi, atau bahkan bisa jadi tidak berguna sama sekali (relatif bagi pribadi masing-masing), namun wawasan tetap wawasan — nonetheless.
Akhir kata, untuk para pembaca yang mungkin pernah menjadi korban, tetap semangat mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu kalian. Jangan berhenti memelihara rasa ingin tahu kalian. Jangan berhenti mencari ilmu. Tetap pelihara kesadaran dan semangat belajar kalian. Untuk para pembaca yang mungkin pernah menjadi pelaku… bangsat kalian. Bertobatlah. Sadarlah respek orang lain kepada kalian tidak bisa semata-mata ditagih, namun diperjuangkan. Percayalah, kejujuran akan memberikan hasil lebih baik dibandingkan sikap denial dan gila hormat. Jangan acak-acak suplai orang-orang cerdas bagi negara ini. Indonesia butuh mereka.
Malu soalnya, umur Indonesia sudah 74 tahun tapi rakyatnya masih banyak yang goblok hanya karena dituntut tetap goblok oleh lingkungannya.