Berita duka kembali memenuhi linimasa media sosial skala nasional. Presiden ke-3 RI, Bacharuddin Jusuf Habibie atau BJ Habibie dikabarkan telah berpulang pada tanggal 11/9/2019 di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta.
Menjalani hidup selama 83 tahun — tentu bukan waktu yang singkat — tak bisa dipungkiri telah memberikan banyak kesempatan untuk alm. BJ Habibie melakukan eksplorasi dan mencari pengalaman terhadap berbagai hal. Mungkin memang yang berkesan di mata umum secara umum ada 2 hal yaitu apapun tentang pesawat dan apapun tentang beliau dan Ibu Ainun. Semua informasi lebih detil mengenai kedua hal tersebut dapat teman-teman cari melalui dokumenter, cerita-cerita beliau di internet, atau paling mudah mungkin lewat platform Youtube di acara Mata Najwa — atau singkatnya cari saja wawancara-wawancara Najwa Shihab dengan BJ Habibie. Banyak kok. Saya tidak akan menuliskan ulang atau merangkum informasi-informasi tersebut dalam tulisan ini. Toh, untuk apa? Yang ingin saya tuliskan justru detil-detil yang berhasil saya amati dari kumpulan tulisan, cerita dan wawancara yang pernah saya lihat dan/atau dengar. Bukankah itu yang membedakan tulisan saya dengan tulisan orang lain? Personal touch? Hm?
Saya selalu menonton ulang wawancara-wawancara BJ Habibie oleh Najwa Shihab karena suasana wawancara yang terbilang engaging mungkin. Selalu nyaman melihat keduanya berdialog, seperti seorang keponakan dengan pamannya kalau saya amati. Najwa Shihab juga memanggil BJ Habibie dengan sebutan “eyang” tapi menurut saya sebutan tersebut hanya menandakan umur absolut BJ Habibie, karena kalau relatif terhadap Najwa Shihab harusnya mungkin masih dipanggil “om” atau “paman” — walaupun jaraknya memang mepet ke “eyang” tapi ya sudahlah kok jadi bahas ini. Kembali ke suasana wawancara yang terbilang natural. Karena dialog yang dibangun tidak menuntut kedua pihak menekan karakter masing-masing, saya berhasil mencatat beberapa ciri khas seorang BJ Habibie dalam berkomunikasi mulai dari yang praktikal sampai konseptual:
- Artikulasi yang jelas — bagi manusia seusia beliau, artikulasi beliau dalam berbicara cukup mengesankan. Saya mengamati banyak di lingkungan saya orang-orang seumur beliau yang sudah susah dipahami ketika mengucapkan sesuatu. Entah karena masalah di mulutnya atau di saraf/otaknya. Saya pun baru menyadari bahwa kemampuan bicara yang masih bagus di usia beliau adalah cerminan kondisi fisik beliau yang berarti masih relatif baik — minimal otak dan mulut, hidung, tenggorokan, dan telinganya. Sesekali meminta mengulang pertanyaan mungkin karena pendengaran yang berkurang tapi tetap masih cukup bagus.
- Body language — tiap kali beliau berbicara, ada saja gerak-gerik tubuhnya — sekecil apapun — yang memberikan kesan hidup pada tiap frasa yang diucapkan. Saat ditanya, mata selalu tertuju pada penanya. Saat menjelaskan atau menjawab dengan penjelasan, mata beliau bergerak kesana-kemari dan selalu menutup jawaban (atau balik bertanya) dengan kembali menatap lawan bicara beliau. Catatan penting untuk angkatan-angkatan bawah saya: begitu caranya berdialog, jiwa dan badan hadir, totalitas. Kebanyakan apapun via chat sampai bingung menyikapi interaksi langsung? hmph.
- Singkat, padat , jelas — apapun yang beliau sampaikan (berdasarkan pengamatan saya) tidak pernah bertele-tele. Yang ditanya A jawabannya A*, yang ditanya B jawabannya B*. Mungkin karena memang insinyur, bukan politisi. Hehe. Ya, didikan tidak bisa bohong memang. Di dunia engineering, kami dididik untuk begitu. Contoh tanya jawab tektok di presentasi kuliah teknik misalnya: “Mana yang paling efisien?” — “Yang A, Pak” — “Berapa angkanya?” — “90%, Pak”
- Paham situasi dan kondisi — salah satu wawancara Najwa Shihab dengan BJ Habibie sempat membahas tentang penolakan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) beliau sebagai presiden dengan masa jabatan yang cukup singkat (1 tahun lebih sedikit) dengan beban yang sangat berat (era transisi/reformasi). Najwa Shihab menekankan di awal, pembahasan ini hanya untuk belajar dari sejarah. Saya sendiri akan sangat maklum apabila BJ Habibie memilih enggan membahas hal yang kemungkinan besar menyakitkan bagi beliau. Namun beliau memilih untuk tetap menerima umpan Najwa Shihab dan melanjutkan pembahasan. Yang mahal dari contoh ini adalah betapa mudahnya beliau melayani tujuan yang lebih berfaedah daripada sekadar menjaga ego (perasaan/mood) beliau sendiri. Biar beliau saja yang harus mengalami hal pahit tersebut, kalian yang selanjutnya bisa belajar tanpa harus dihajar kenyataan serupa. Pun ketika membahas pasangan tercinta, beliau antusias layaknya pertama kali jatuh cinta namun juga tidak bisa menyembunyikan rasa kehilangan — intinya berhasil menyampaikan kepada para penonton tentang perjalanan love life beliau. Beliau sudah mengalami hal seindah semua itu, semoga kalian bisa menjadikannya contoh dan menemukan hal indah itu sendiri.
- Tidak intimidatif ataupun gila hormat — memang orang seperti beliau (atau beliau sendiri lah) tidak perlu menuntut dihormati. Dengar nama beliau saja bawaan saya sudah ingin benar-benar melakukan sikap hormat. Saat pertama kali berbicara dengan BJ Habibie, saya yakin seorang Najwa Shihab pun akan sedikit berkeringat dingin — walaupun excited, tetap saja pasti ada tegangnya. Saya tidak bisa mengingat (atau tidak tahu) mana yang pertama, namun saya berhasil mengamati di wawancara-wawancara yang saya lihat, Najwa Shihab tidak merasa sedang bicara dengan seorang manusia setengah dewa yang luar biasa cerdas dan bijak. Hanya dengan seorang eyang. Dan beliau juga tidak merasa tidak dihormati dengan sikap ramah/casual Najwa Shihab. Kenapa saya sorot yang ini? Karena ada saja orangtua yang masih kaku parah mengenai sikap orang yang lebih muda ketika berbicara dengannya (saya bilang berbicara karena belum tentu mereka mau berdialog, bicara kan bisa hanya satu arah — maunya didengar saja tidak mau terima sahutan. Hehe)
- Personal — hal inilah yang paling saya senang dari sosok beliau dalam video-video wawancara beliau. Bukan berarti saya tidak ingin melihat BJ Habibie yang profesional, hanya saja untuk wawancara, saya sendiri lebih suka menyimak dialog yang bersifat personal. Saya selalu beranggapan “kalau mau tahu cuma soal track record, biodata, atau pekerjaan, cari di internet juga ada — buat apa susah-susah menjadwalkan janji wawancara.” Inilah yang mungkin juga mendasari sikap interaktif beliau dengan Najwa Shihab dalam tiap wawancara yang terekam dan tersebar. Format percakapan bukan hanya “Najwa bertanya, Habibie menjawab” namun keduanya saling melengkapi usaha melanjutkan percakapan dengan fluid dan genuine.
- Profesional — lah, bukankah tadi beliau dicap sosok yang personal dalam wawancaranya? Ya, betul. Teman-teman tahu di mana letak sikap profesional beliau? Jawabannya: totalitas beliau dalam menjadi narasumber dan pasangan dialog. Tentu saat ditawarkan sebuah wawancara, beliau punya hak untuk menolak. Pun ketika menerima tawaran wawancara, tak ada kewajiban beliau harus totalitas dalam menjalankannya. Namun itulah yang membuat beliau profesional — ketika sudah membuat pilihan, maka pilihan itu dijalankan dengan tidak setengah-setengah.
Saya yakin masih banyak lagi personal trait seorang BJ Habibie yang luput dari pengamatan saya. Alasan diplomatis dari saya, ya… “saya sisakan ruang bagi teman-teman pembaca untuk mencari sendiri.” Hehe. Namun terlepas dari apa yang tidak ada dalam tulisan ini, saya berharap apa yang ada dalam tulisan ini dapat menjadi insight bagi teman-teman pembaca. Saya membuat tulisan ini karena entah mengapa saya yakin BJ Habibie termasuk orang yang berusaha memberi contoh bagi orang lain melalui hal-hal dari yang umum sampai yang paling detil — dari pemikiran yang paling besar sampai tindakan yang paling kecil. Apresiasi terbaik yang bisa saya berikan untuk beliau hanyalah dokumentasi detil-detil tersebut, interpretasi saya, serta menyebarkan tulisan ini ke khalayak umum — karena saya belum tentu lanjut di bidang dirgantara sampai tua nanti (yakin betul ya saya bakal sampai “tua”…)
Tadinya hampir saya masukkan tulisan ini ke seri Fakta(pshit) dan Opini namun rasanya kurang etis untuk mengenang beliau. Jadi sebenarnya gaya tulisannya mirip-mirip seri saya yang itu, hanya saja bahasa dan frasa yang digunakan jauh lebih berkelas dibanding biasanya. Ah, ya sudah, biarkan ini menjadi tulisan edisi spesial saja — spesial karena bukan dipenuhi hujatan namun dipenuhi rasa hormat.
Akhir kata, selamat jalan Prof. DR (HC). Ing. Dr. Sc. Mult. Bacharuddin Jusuf Habibie. Selamat (akhirnya) kembali bersua dengan Ibu Ainun di seberang sana. Pasti Pak Prof kangen kan?