Edisi Langka: Love-Life Wisnu! — Memaafkan dan Dimaafkan

Wisnu!
9 min readNov 7, 2019

Lama ya vakum Medium. Maklum, ditelan kesibukan kegiatan terkait musik sembari iseng-iseng S2 berhadiah gelar magister kelak. Dampaknya lama tidak menulis ya jadi harus mulai dilatih lagi dari yang ringan-ringan dulu. Tapi ringan bukan berarti pasti tidak memiliki pesan penting, bukan?

Dalam tulisan kali ini, izinkan saya nostalgia sejenak sekaligus sharing pengalaman… ehm… love life saya. Hitungannya tulisan sangat berani ( cenderung nekat ) bagi orang seperti saya mungkin ya. Tapi santai lah — pride kagak ngasih ente makan. Jadi, berikut salah satu pengalaman saya di Bandung dengan nuansa kotanya yang atraktif, romantis dan intim.

Saat saya masih tingkat akhir S1, awal hingga pertengahan tahun ( ingat betul, ya? ya iya lah… ) di tengah tekanan tugas akhir yang terasa tak kunjung selesai, saya memutuskan mengontak salah seorang teman saya yang saya rasa sudah cukup lama saya kenal ( dari tingkat 2 atau 3 saya agak blur ). Perempuan pastinya. Kalau laki-laki, tidak akan begini ceritanya. Kecuali saya homo, cuma puji tuhan alhamdulillah tidak. Singkat cerita, mungkin karena saya juga saat itu sedang mengalami fase menjadi escapist dari tugas akhir, saya lebih memilih selalu mencari beliau ( beliau jink ) untuk mengisi waktu luang saya yang seharusnya tidak luang habis saya pikir-pikir. Interest kami berdua yang jelas sama adalah musik. Jadi saya selalu mencari beliau untuk menemani saya melarikan diri dari kewajiban saya menuju gigs-gigs yang ada kapan saja di mana saja ( selama masih di Bandung ya ).

Mulai sekarang saya akan sebut beliau dengan julukan Indipop alias individualis populer ( istilah ini saya dapat dari Mukhlis si soundman White Chorus ). Kebetulan karena memang si Indipop ini memang demikian karakternya. Lanjut kembali ke cerita. Ketertarikan mulai saya alami saat mengajak Indipop menonton musisi dengan inisial MG di salah satu venue di Bandung. Standar, saya kontak dadakan, saya jemput, berangkat. Setelah menonton, kami pulang. Saya sadar playlist saya di mobil kok tiba-tiba jadi lembek bagaimana begitu — dan lagu-lagunya saya yang pilih, bukan beliau. Sempat terpikir oleh saya saat itu, “kok saya jadi menye begini ya? hm?”. Tapi saya buang dulu pikiran itu sembari tetap mengobrol dengan beliau di mobil sampai saya turunkan beliau di depan kost nya.

Makin lama makin kecanduan saya mencari-cari nona Indipop. Bukan lagi soal musik saja tapi sampai soal makan malam, jalan-jalan santai yang bikin saya ( dan kadang batang saya ) tegang, dan lain-lain. Sampai suatu saat saya merasa butuh agen — dan saya temukan agen yang saat itu saya rasa tepat ( padahal ujung-ujungnya agen saya ini blunder ). Agen saya akan saya sebut MIA karena memang salah satu faktor usaha saya berantakan karena agen saya MIA alias Missing In Action. Sekali lagi saya tekankan, yang saya kejar adalah nona Indipop dan agen saya adalah MIA. MIA sempat menyampaikan kepada saya bahwa Indipop mulai bertanya-tanya apakah saya suka dengan dirinya. “JELAS IYE LAH”, jawab saya ke MIA.

Di sini lah semua mulai amburadul. Saya diajak nona Indipop menonton salah satu acara musik yang cukup besar yang diselenggarakan salah satu kampus ternama di Bandung. Nona Indipop menyampaikan juga ke saya kalau beliau mengajak nona MIA untuk ikut. Dalam hati, saya juga ingin MIA ikut agar kalau ada aroma-aroma kekacauan mulai terasa, MIA sebagai pihak ketiga bisa menetralisir. Di satu sisi, saya menganggap ajakan nona Indipop tersebut sebagai salah satu usahanya membuka diri dan menguji kompatibilitas dinamika dirinya dengan dinamika karakter saya. Saya sambut ajakan tersebut. Pada hari yang telah ditentukan, saya pun menjemput Indipop kembali di kost nya. Saya ingat betul saat itu jam 6 sore dan hujan gerimis. Indipop pun menghampiri mobil saya dengan menggunakan payung ( dia bilang supaya tidak perlu memutar mobil di depan kost nya, apalagi di jam sibuk takutnya mengganggu lalu lintas ).

Saya ingat betul beliau mengenakan dress berwarna hijau-abu gelap dengan corak bunga-bunga berwarna mungkin kebiruan dengan nuansa gelap juga. Saat itu saya… ehm.. kepincut (?)

Kepincut dalam artian saya kagum sembari berpikir, “Wuanjink cantik bat dah!”. Nah, sialnya, kami berdua mencoba menghubungi MIA dan tidak ada yang berhasil — sekali lagi, sesuai namanya, MIA. Kami berdua sudah membeli tiket sehingga tidak etis rasanya kalau dibatalkan. Kami memutuskan untuk berangkat menuju venue.

Setiba kami di venue, kami langsung menukar tiket dan masuk. Sedikit belok dari topik romantis, acaranya tidak begitu bagus. Saya kecewa dengan event tersebut. Lahan segedebage tapi sepi, hanya ramai sorakan panitia. Ujung-ujungnya penonton hanya ramai di penampilan WSATCC dan DR ( inisial musisi terkait ). Bahkan terjadi pemotongan penampilan DR karena acara yang ngaret. Kentang rasanya. Padahal baru mau masuk lagu Sinaran — Sheila Majid ( ya, saya juga doyan lagu itu, hehe ). Kembali ke topik. Selama berada di acara tersebut, kami tetap saling mengobrol. Sayangnya terasa ada beberapa saat kami saling diam agak canggung satu sama lain, tapi ya saya anggap wajar dulu saja. Beberapa obrolan yang masih saya ingat paling:

“Lu kedinginan?” — “Enggak kok”

“Duh pengen pipis tapi toiletnya gak bisa ditutup” — “Udeh masuk aja gua pegangin pintunya, ntar gantian”

Ada teman yang bertemu kami berdua di sana sontak bertanya, “Kalian pacaran yaaa?”, spontan dan serentak kami menjawab, “Enggak kok, enggak”

Sisa obrolan saya biarkan jadi privasi kami berdua ya. HEHE. Singkat cerita, setelah penampilan dari DR diselesaikan oleh panitia, kami bergerak kembali ke mobil dan masuk. Saya ingat betul entah kenapa ada bayi kecoak ( untung masih kecil jadi belum bisa terbang ) ada di dasbor mobil saya — di depan nona Indipop. Karena kami tidak mau diganggu kecoak, saya segera mengambil tissue untuk menangkap kecoak itu. Berhasil saya tangkap, tapi saat saya mau membuang ke luar, tangan saya menghantam wajah Indipop. Terlepas dari berhasil membuang bayi kecoak tersebut, saya cukup panik dan meminta maaf kepada Indipop karena sudah menghantam wajahnya dengan tangan kanan saya yang biasa saya pakai picking di gitar dan memainkan lagu-lagu keras — jadi pasti minimal berasa lah wajahnya dihantam tangan saya.

Kami pun berkendara pulang diiringi lagu-lagu halus di mobil. Saya perhatikan body language dan gaya bicara nona Indipop seperti sudah lelah — atau kecewa terhadap performa saya malam itu entah apapun aspek yang beliau nilai dari saya. Sampai di dekat kost nya, saat beliau turun, saya kelepasan bicara

“Gua suka dress lu yang ini deh”

Saya yang makin penasaran ditambah Indipop yang terasa semakin menghindar adalah pengembangan konflik yang terjadi. Saya merasa effort saya ( anjenk ) tidak dihargai tapi di satu sisi mungkin beliau menganggap bukan saya yang beliau mau. Klasik. Tapi tetap saja pasti kusut kalau kamu yang mengalami sendiri. Konflik meningkat dari berkelahi di sosmed ( personal, tidak sampai saling serang di Twitter/IG misalnya dengan agresif, untung kami bukan orang demikian, karena saya kaget ada teman saya yang lain yang begitu kalau berkelahi dengan pasangannya— tapi itu lain cerita) menjadi diem-dieman. Sampai suatu saat, mungkin Indipop merasa saya sudah kelewatan — kami putus kontak total.

Setelah begitu baru MIA tiba-tiba kembali muncul ke permukaan dan bertanya

“Gimana, Nu? Indipop.”

“Mundur udah”

Saat itu, ingin saya hantam wajah MIA ratusan kali dengan palu sampai rata dengan aspal. Giliran udah berantakan baru nongol.

5 bulan lamanya rasanya saya dan Indipop putus kontak. Sampai mendekati hari sidang S1 saya, saya memberanikan diri mengontak Indipop lagi.

“Hoit, gua sidang nih tanggal XX nanti manatau mau nongol”

“Jam berapa? Pagi sampai siang gue agak full”

“Jam YY masuk, paling kelarnya jam ZZ an”

“Oke”

Awalnya saya anggap formalitas saya karena saya tahu harus saya yang memulai obrolan — beliau tidak akan memulai. Toh lumayan membentuk mental jantan yang saya agung-agungkan selama ini

Lu yang berantakin, lu lah yang beresin — berlaku juga buat gua

Saya anggap usaha saya mengejar Indipop adalah penyebab relasi pertemanan kami buyar, oleh karena itu saya anggap saya lah yang harus mulai berusaha mengembalikan relasi tersebut. Mungkin tidak akan seperti dulu tapi minimal kembali lah saya harap saat itu.

Ternyata Indipop benar-benar muncul di hari saya sidang S1 — bersama dengan MIA dan seorang teman saya yang lain yang juga teman dekat mereka berdua, sebut saja tuan Cockblocker. Sedikit trivia, di hari itu ada teman-teman AE saya — Horas, Faber, Afthon, Kadal, Fairuz, Cesar dan Amus —teman-teman Apres! — Usman dan Ganen — ditambah teman-teman yang secara random saya entah dari mana kenalnya — Mita, Gina, Dino, Hance yang tiba-tiba berpapasan (saya cuma mau pamer doang kalau saya ingat betul hari itu).

Setelah hari sidang lewat, kami mulai sesekali saling bertegur sapa dan bahkan berdiskusi topik politik, pendidikan, musik, dan lain-lain. Mulai terasa kembali seperti saat berteman baik dulu. Langkah nekat berikutnya? Saya beranikan diri kembali mengajak Indipop jalan hanya berdua saja. Saya harus tebal muka rasanya. Saya jemput beliau di salah satu cafe langganannya dan kami lanjut ke Sop Kambing Alun-Alun. Saya ingat Indipop hanya makan 1 porsi, saya makan nasi 3 tapi cukup 1 mangkuk sup kambing saja — biar kenyang bego tapi gak bangkrut jadi banyakin nasi. Masih terasa sedikit canggung awalnya. Menariknya, yang saya sadari, usaha mencairkan kembali relasi kami tidak hanya datang dari saya, tapi juga dari Indipop. Saat saya memberi slot hening, beliau sesekali memulai pembicaraan. Saya anggap itu usaha dari beliau yang tentunya saya sambut dengan sangat baik. Seperti biasa, setelah selesai ngelayap, saya antar Indipop pulang ke kost nya.

Relasi kami masih baik sampai saat ini. Menariknya, saya merasa kualitas relasi kami justru meningkat setelah mengalami konflik tak penting namun berdampak signifikan tersebut — cuma masalah baper-baper doang, cuma gara-gara saya kepincut beliau. Kalau berpikir ulang, sebetulnya ada pertanyaan-pertanyaan seputar berbaikan yang sama misterius jawabannya dengan pertanyaan-pertanyaan seputar putus hubungan / relasi, misal

Putus hubungan

“Kenapa ya dia gak mau sama gua? Apa sih yang dia gak tahan dari kelakuan gua? Apa ya isi kepalanya?”

Berbaikan

“Kenapa ya dia mau baikan sama gua? Apa sih yang dia kangen dari gua? Apa ya isi kepalanya?”

Keduanya, baik yang saat putus hubungan maupun berbaikan, mungkin tidak akan pernah saya temukan jawabannya. Biarlah hanya Indipop yang menyimpan jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut bagi dirinya sendiri. Porsi saya hanya menerima output brainstorming beliau saja. Toh juga jangan-jangan beliau juga memiliki pertanyaan-pertanyaan sejenis yang mungkin jawabannya tidak akan pernah keluar dari mulut saya. Saya anggap impas saja lah ya.

Nah, di sinilah value penting yang ingin saya bagikan. Baru-baru ini saya ngelayap berdua dengan Indipop saat tengah malam — kami menghabiskan malam ( nyaris ) satu lawan satu saja. Ada kata nyaris karena ada makhluk kasat mata yang tiba-tiba join karena tidak tahu mau ke mana tapi tidak ingin di kost nya saja — sebut saja si Anjing. Memang anjing si Anjing ini, merusak suasana saja. Padahal kalau si Anjing tidak mampir di tengah-tengah, mungkin saya bisa ulik lebih dalam soal beberapa hal langsung dari nona Indipop sendiri. Tapi ya sudah lah. Sempat terucap dari mulut beliau

“Ada yang nanya ‘jadi udah nyantai jalan berdua sama Wisnu nih?’… Ya, itu namanya baikan”

Saya pun menimpali sembari berusaha melakukan konfirmasi apakah kami se-frame

“Ga worth it ya ilang temen cuma gara-gara masalah begituan?” alias tidak worth it gak jadi pacar berujung relasi bubar total sampai kaya gak kenal satu sama lain sampai akhir hayat kasarnya.

Indipop setuju. Ternyata itu satu lagi kesamaan kami. Jangan sampai hanya karena masalah suka-sukaan, kejar-kejaran, masalah romansa, pertemanan bubar total dan permanen. Yang saya pelajari dari kasus Indipop, saat relasi berantakan, biarkan cool down terlebih dahulu. Mungkin memang hanya butuh waktu saling menghilangkan diri. Dan saat saling menghiangkan diri tersebut, masing-masing pihak harus kembali sibuk melakukan kewajiban-kewajibannya. Indipop kembali berkegiatan sosial, saya kembali menyelesaikan tugas akhir dan bermusik. Masing-masing kembali ke passion nya dan mengesampingkan sejenak masalah perasaan yang terlanjur mengambil ruang cukup besar dalam kepala masing-masing. Untuk apa? Supaya masing-masing pihak ( terutama saya rasanya ) bisa kembali menjadi dirinya sendiri dan berkembang sesuai… apa ya… rancangan awal (?) Sehingga saat datang saatnya kedua pihak sudah bisa saling membuka diri untuk berkomunikasi, sudah ada perkembangan yang dapat dibawa oleh masing-masing pihak yang terlibat konflik berlatar romansa tersebut. Istilah klise nya kedua pihak memperbaiki dan melayakkan diri.

Back to your roots, just do your thing

Satu hal lagi yang saya highlight dari kasus saya dengan Indipop adalah relasi kami setelah konflik jauh lebih baik dari sebelumnya. Aneh, tapi saya rasa hal itu dikarenakan kami sudah lebih saling mengenal satu sama lain justru memang setelah terjadi gesekan. Habis saya pikir-pikir, memang betul tidak mungkin relasi yang intim dan sustain dapat terjadi tanpa adanya konflik sama sekali. Pasti minimal pernah kesal antara satu dengan yang lain, amit-amit sampai baku hantam ( ya kalau dengan perempuan masa saya sampai ayunkan tinju? ya kali ). Saya pribadi merasa jadi lebih paham bagaimana harus memperlakukan nona Indipop — begitu pula sebaliknya sejauh yang saya notice. Kami jadi lebih sering jalan-jalan atau hang out bersama dibandingkan sebelumnya.

Sebagai penutup, pasti masih ada teman-teman para pembaca di sini yang setelah konflik malah berakhir menjadi asing dengan individu lain yang terlibat konflik — apapun, baik perasaan, pekerjaan, cinta-cintaan, you name it. Setelah saya pikir-pikir, kemungkinan besar penyebabnya hanya satu

Ego

Jadi sebetulnya, untuk memperbaiki relasi pasca konflik, hanya ada 1 pertanyaan untuk masing-masing pihak:

Untuk pihak pertama

“Maukah kamu memaafkan pihak kedua tanpa perlu menuntut permintaan maaf keluar dari mulutnya tanpa jadi merasa tinggi hati? Atau menerima kemungkinan bahwa kamu lah yang sebenarnya bersalah jika memang faktanya demikian?”

Untuk pihak kedua

“Maukah kamu dengan humble menjadi pihak yang dimaafkan oleh pihak pertama tanpa jadi merasa rendah diri? Atau menerima kemungkinan bahwa ini semua bukan salah kamu jika memang faktanya demikian?”

Dan kedua pihak harus kompak menjawab

“Iya, aku mau”

( sumber : gak mau kasih biar kepo aja )

--

--