Fakta(pshit) dan Opini: Lebih Baik Ditunda Daripada Asal Jadi (RUU PKS)

Wisnu!
5 min readJul 4, 2020

Ya, saya memang hobi bikin orang ngamuk. Dengan catatan orang itu murni cuma bersandar sama emosinya tanpa mencoba berpikir jernih sama sekali. Apakah di sini saya berarti menjadi orang yang pro-DPR? Enggak juga. Lagian gimana caranya saya bisa pro-DPR kalau bahkan di dalam institusi mereka aja ada berbagai respon soal penundaan pembahasan RUU ini?

Saya sendiri melihat bahwa dalam masalah pembahasan RUU PKS ini, DPR baru benar-benar terlihat mewakili rakyat tanpa berkoar-koar secara eksplisit kalau mereka adalah perwakilan rakyat. Mengapa demikian? Karena respon orang-orang di dalam institusi DPR tersebut adalah cerminan respon berbagai kelompok masyarakat. Enggak percaya?

Ada golongan yang merasa bahwa RUU PKS ini penting untuk dibahas secepatnya sebatas karena korban “kekerasan seksual” sudah terlalu tinggi angkanya di Indonesia (nanti saya jelaskan kenapa saya kasih tanda kutip). Ada golongan yang merasa RUU ini penting untuk dibahas tapi bukan sekarang karena masih ada masalah-masalah lain yang menurut mereka lebih penting untuk dibahas dalam tempo yang sesingkat-singkatnya kalau mengutip Ir. Soekarno, apalagi dipastikan ada saja 1 atau 2 agenda DPR yang tertunda karena wabah yang masih berlanjut ini. Bahkan ada saja fraksi yang, walaupun tidak disampaikan secara ekspisit, menganggap RUU ini tidak penting sama sekali karena berbagai alasan. Paling ketebak sih ya paling karena bukan RUU yang kalau disahkan bakal bisa ngasih mereka banyak lahan basah. Beda kan sama UU tentang minerba atau pajak gitu misalnya, kan? Hehe…

Itu aja? Enggak. Coba ingat-ingat lagi golongan-golongan masyarakat yang masih berpikir kalau konten RUU PKS ini dinilai “tidak sesuai dengan budaya ketimuran, bertentangan dengan nilai-nilai agama, dan berpotensi menjadi pintu masuk LGBT dan paham liberal” (saya yakin pasti kalian kenal dengan pemikiran yang satu ini). Ada berapa ekor penduduk Indonesia yang punya pemikiran seperti ini kalau kalian berani tebak isap jempol? Dengan adanya pernyataan demikian yang keluar dari mulut anggota DPR sendiri, tandanya mereka juga diwakili aspirasinya oleh pihak DPR, bukan? Ada banyak lagi sudut pandang yang diwakili oleh anggota-anggota DPR pastinya, tapi terlalu banyak kalau saya jabarkan dengan detil satu-persatu di sini.

Nah, sekarang mari kita masukkan asas demokrasi ke dalam pembahasan. Dari tadi sudah disimpulkan kalau DPR dalam kasus ini berhasil menjadi representatif rakyat Indonesia. Sekarang saya tanya kalian yang membaca tulisan ini; Pernah tidak kalian bertanya pada diri kalian sendiri seperti ini

DPR selalu koar-koar kalau mereka mewakili rakyat. Rakyat yang mana?

Nah, sekarang saya coba bantu kalian menjawab. Dalam kasus RUU PKS ini, kira-kira golongan yang mana yang paling banyak di masyarakat terhadap RUU ini; yang pro, yang kontra, atau yang enggak tahu dan enggak mau tahu? Ingat ya, yang saya tanya yang JUMLAHNYA PALING BANYAK bukan yang DOMINAN BERSUARA. Kenapa jumlah jadi faktor yang lebih penting daripada vokal/tidaknya partisipan proses pengambilan keputusan? D E M O K R A S I. Makan tuh demokrasi.

Lalu apakah dengan ini saya menyimpulkan kalau dalam kasus RUU PKS ini saya menyimpulkan para anggota dewan yang terhormat tidak melakukan kesalahan sama sekali? Oh, tentu tidak begitu. Minimal ada 2 poin yang agak membuat saya gedek sama mereka:

  1. Salah satu anggota DPR yang diwawancara mengakui belum ada pembahasan sama sekali oleh Komisi VIII mengenai RUU PKS ini entah apapun alasannya
  2. Masalah administratif yang berujung menjadi kasus cabang olahraga favorit kita semua; lempar tanggung jawab. Info selengkapnya ada di tautan yang saya cantumkan di akhir tulisan ini.
  3. DPR mengklaim akan melanjutkan pembahasan RUU PKS di 2021. Ya jelas kita semua skeptis mengingat kelakuan mereka-mereka ini... yang sebetulnya kalau dipikir-pikir cerminan sifat masyarakat kita juga yang suka nge-”iyain aja biar cepet, biar anteng dulu”. Hehe…

Nah, sekarang mari kita berasumsi bahwa DPR tidak dapat diandalkan perihal RUU PKS ini. Saya akan melanjutkan tulisan ini dengan asumsi bahwa pembacanya adalah orang yang berkemampuan berpikir kritis. Saya akan mulai dengan pernyataan yang mengulang judul tulisan ini:

Lebih baik RUU PKS ini ditunda daripada asal jadi.

Mengapa saya berani berpendapat demikian? Untuk memahami dasar pendapat saya, coba kita tengok salah satu contoh UU yang sudah ada dan (saya anggap) kita kenal; UU Penodaan Agama.

UU tersebut akan saya jadikan contoh. Mengapa UU Penodaan Agama? Karena RUU PKS kalau tidak hati-hati bisa menjadi sama bagus (alias sama buruknya) dengan UU Penodaan Agama. RUU PKS berpotensi menjadi UU yang mengandung pasal-pasal karet. Pasal-pasal karet ini rawan dimanfaatkan oleh orang-orang yang cukup cerdas untuk menggunakan hukum sebagai senjata untuk menjatuhkan orang lain. Kalau ditarik kembali ke RUU PKS ini, contoh fenomena yang mungkin terjadi apabila tidak berhati-hati adalah mekarnya kaum feminazi (bukan feminis, ya) seperti yang terjadi di USA. Bahkan di sana bukan kejadian langka di mana perempuan mengada-ada soal kasus pelecehan yang dialami dirinya (kadang kasusnya memang fiktif total loh ya) untuk menyingkirkan kompetitor laki-laki di bidang apapun yang mereka geluti. Satu lagi yang tak kalah penting, apabila tidak hati-hati, sama seperti UU Penodaan Agama, RUU PKS berpotensi tumpang tindih dengan UU ITE.

Akhirnya, kita tutup tulisan ini dengan beberapa hal yang ingin saya sampaikan atau diskusikan. Sadar tidak kalau dari tadi saya selalu menulis RUU tersebut dengan nama RUU PKS bukan RUU Kekerasan Seksual? Ingat juga di awal tadi saya menulis frasa kekerasan seksual dengan menggunakan tanda kutip dan dicetak miring. Saya tahu diri, saya belum bisa memberikan solusi, tapi salah satu kemampuan yang seharusnya saya miliki sebagai seorang sarjana (otw magister) teknik adalah mendefinisikan masalah dengan baik, minimal dalam bentuk daftar pertanyaan yang harus dijawab secara terstruktur dan sistematis tetapi tidak harus masif seperti yang dialami Bapak Menhan kita sekarang pada masa pemilu kemarin. Sisanya saya serahkan ke teman-teman pembaca yang terhormat untuk dikembangkan.

Pernahkan kalian mendengar/membaca UU Penodaan Agama dan membatin:

a. Kenapa judul UU-nya “Penodaan Agama”?

b. Definisi penodaan agama itu apa sih memang?

c. Batasan penodaan agama memangnya apa?

d. Penulisan pasal-pasal dan ayat-ayatnya bagaimana?

e. Apakah ada konten yang tumpang tindih dengan UU lain?

f. Apakah masih ada pasal-pasal karet yang bisa atau rawan dieksploitasi orang-orang yang tidak bertanggung-jawab?

g. Kalau terjadi skenario terburuk yang diakibatkan UU Penodaan Agama ini, tindakan apa yang harus dilakukan?

Sekarang bunuh emosi kalian dan ganti semua frasa “Penodaan Agama” pada pertanyaan-pertanyaan dari poin a sampai g dengan frasa “Kekerasan Seksual”. Selamat berpikir dan selamat pusing sendiri.

— — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=MmQmO1wr5zY

--

--