Fakta(pshit) dan Opini: Panduan Menjalani Hidup “Mediocre”

Wisnu!
4 min readJun 23, 2019

--

Berikut adalah plot untuk menjalani hidup yang… ya… standar lah:

  1. Jalur pendidikan SD selama 6 tahun, SMP selama 3 tahun, SMA selama 3 tahun. Semuanya on track, tidak pernah tinggal kelas, tapi tidak pernah akselerasi juga. Nilai di rapor semua pas KKM, peringkat di tengah-tengah. Sing penting aman. Sekolah yang dipilih juga sekolah yang berada di dekat rumah, sekolah negeri dengan label digit. Makin tinggi jenjang pendidikan, semakin jauh dari rumah.
  2. Kuliah ke luar kota, berusaha masuk kampus negeri tapi apa daya otak tak sampai. Jadi kuliah di mana aja jadi juga lah. Sing penting sarjana. Tapi ya pilih jurusan yang peminatnya paling banyak. Biar aman. Padalah kuliah di kampus negeri bisa lebih murah dari swasta, tapi… ya nasib. Kuliah 4–5 tahun, nilai yang paling sering didapat ya… C, karena “C” artinya “Cukup”. Lulus sidang skripsi karena dosen favorit (santai kaya di pantai). Wisuda, dapat ijazah, waktunya…
  3. Cari kerja! Mulai buat CV, isinya 3–4 poin. Isinya 2 tentang organisasi dan kepanitiaan (itu juga staff), 2 tentang akademik (1 asisten dosen, 1 juga skripsi… dengan dosen yang sama). Ikuti prosedur, diterima kerja sebagai karyawan biasa atau PNS, dipasang gaji UMR. Menjalani pola hidup rutin: bangun pukul 06.00, mandi dan sarapan sampai pukul 07.00, berangkat dan sampai kantor pukul 08.00, ngopi, santai-kerja-santai, pukul 12.00 istirahat makan, makan di samping kantor diikuti ngudud, pukul 13.00++ kembali masuk ke kantor, kerja-santai-kerja, pukul 16.00 siap-siap pulang, pukul 16.30 pulang. Macet di jalan, sampai rumah antara pukul 17.30 sampai 18.00. Makan malam, ngobrol dengan orangtua tentang hidup (yang begitu-begitu aja), nonton TV, ngemil kacang, menghubungi pasangan (bila punya, kalaupun punya biasanya belum berstatus suami-istri). Pukul 22.00 tidur. Begitu saja tiap hari.
  4. Tidak terasa umur sudah mulai memasuki 20-an tengah (maksudnya 25). Sudah punya motor Beat yang cicilannya belum lunas. Saat kumpul keluarga Idulfitri mulai ditanya soal pasangan dan kapan menikah. Standar jawaban antara “tahun depan” atau “nanti dulu, jodoh sudah ada yang atur”. Keluar rumah kakek-nenek, bertemu teman-temannya yang nongkrong di pos satpam malam-malam, main catur sambil ngopi dan ngudud. Sambil menggerakkan bidak catur ditanya “Gimana hidup?”. Sembari memulai gerakan melawan bidak catur lawan, dijawab “Ya gini-gini aja”. Seruput kopi, hisap rokok, lanjut…
  5. Di umur sekitar 26 sampai 28 menikah. Kalau laki-laki dengan perempuan yang berumur 2 sampai 3 tahun lebih muda, kalau perempuan ya berlaku sebaliknya. Karena sudah berpasangan (mulai sekarang kedua pihak saya anggap satu, pasangan suami-istri) dan gengsi, motor Beat yang belum lunas cicilannya dijual… untuk mencicil Avanza E, sembari mulai pusing cicilan rumah minimalis yang kalau kalian lihat sederetan sama semua: 2 lantai, garasi pas-pasan, 2 kamar anak, 1 kamar utama, ruang tamu di depan, pekarangan rumah kecil, toilet 2.
  6. Kumpul Idulfitri lagi, umur sudah 30an, anak sudah 2: 1 laki-laki, 1 perempuan (sudah berurut anak pertama dan kedua, sudah termasuk program KB). Anak-anak diperkenalkan dengan keluarga besar. Malamnya, orangtua bermain dengan cucu sementara kalian masih melakukan hal yang sama dengan segmen terakhir poin 4.
  7. Begitu mediocre-nya sampai-sampai anak kalian pun menempuh jalur pendidikan yang serupa dengan kalian (serupa karena belum tentu sama, minimal misalnya kalian SD 112, anak-anak di SD 113, tetap anak digit) sampai kuliah dan lulus juga. Anak-anak pun mulai mencari kerja dan pasangan. Sedikit kebahagiaan karena akhirnya cicilan rumah lunas juga, tapi tetap saja mediocre karena mayoritas pun begitu.
  8. Di umur antara 55–60, pensiun dari kerja dan dapat pesangon. Untuk mencari uang mulai buka warung tongkrongan bapak-bapak komplek. Dapat uang cukup untuk bertahan hidup tapi juga tidak merepotkan anak-anak. Semua aman-aman saja. Apa aktivitas di warung tersebut? Tetap sama seperti segmen terakhir poin 4!
  9. Sekarang giliran kalian yang bermain dengan cucu saat Idulfitri sembari anak-anak kalian dicecar pertanyaan-pertanyaan yang tidak asing di telinga kalian (tahun-tahun sebelumnya juga dicecar makanya bisa menikah dan punya anak). Tugas kalian secara umum hanya tinggal menikmati masa tua. Yang perempuan (sudah bergelar nenek-nenek) hobi bikin kue, yang laki-laki (sudah bergelar kakek-kakek) begadang nonton bola sambil ngopi dan merokok. Rokok diletakkan di asbak entah yang logam gepeng goyang-goyang atau plastik berwarna jingga atau hijau ngejreng. Sesekali masuk angin dikerok istri menggunakan koin 500an.
  10. Akhirnya mulai pikun dan terkena penyakit entah diabetes, kanker, jantung (termasuk stroke), kalau sedikit elit ya Alzheimer. Meninggal dalam rentang waktu antara 0–5 tahun setelah diagnosa. Dikubur di TPU, lahan makan ukuran 2x1. Makamnya diberi ubin warna biru dan kayu nisan (bukan batu) yang sama dengan makam-makam di sekelilingnya. Setiap tahun ada keluarga yang nyekar dengan membawa bunga melati yang ditabur di atas makam kalian.

Bonus? Di akhirat pun masih mediocre. Sebegitu standarnya kalian sampai tersangkut di jembatan, tidak masuk surga, tidak masuk neraka. Karena berada di tengah-tengah, kalian juga hanya merasakan temperatur ruang sebagaimana yang kalian rasakan di kehidupan sebelumnya di bumi. “Minta rokok dari surga, nyalainnya pakai api neraka”. Ada jiwa lain yang menyeberang jembatan sambil berkata “Punten kang/teh”. Ditanya juga bagaimana kondisi kalian di jembatan ini. Jawab kalian tetap “Ya, gini-gini aja”.

Bagaimana menurut teman-teman pembaca? Apakah teman-teman setuju tentang detil teknis hidup mediocre di atas? Mungkin ada beberapa detil yang belum lengkap namun saya yakin kira-kira apa yang saya gagaskan 11–12…maksimal 11–17 lah dengan hidup mediocre yang teman-teman bayangkan. Begitu standarnya sampai tulisan saya yang berperan sebagai tesis ini tidak memicu kehadiran antitesis (bedakan melengkapi dengan menentang ya). Dengan mengikuti panduan ini, hidup teman-teman dijamin aman. Tidak perlu mengambil risiko. Tidak perlu mengantisipasi kebahagiaan sebuah pencapaian yang luar biasa ataupun kejatuhan yang berdampak keras bagi hidup

Bagaimana cara menjadi mediocre? Ya, ikuti saja panduan ini. Tidak perlu berusaha membuat perubahan baik menuju yang lebih baik maupun yang lebih buruk. Tidak perlu berusaha membuat impact bagi lingkungan sekitar. Intinya main aman saja. Seperti kata Paslon dengan nomor urut 10:

Kalau orang lain bisa, mengapa harus saya?

--

--

Wisnu!
Wisnu!

Written by Wisnu!

{{ insert_pretentious_bullshit_here }}

No responses yet