Fakta(pshit) dan Opini: Pendidikan untuk Pendidik

Wisnu!
5 min readMay 2, 2020

Yang berilmu belum tentu bisa mengajar, yang bisa mengajar belum tentu berilmu

Membahas masalah pendidikan di Indonesia memang tidak akan ada habisnya. Bisa kita sebutkan satu-satu mulai dari ketersediaan tenaga pengajar, kesejahteraan guru, sampai ke rantai paling atas yaitu keputusan institusi nasional yang bertanggung jawab atas pendidikan. Kalau semuanya dibahas, bisa jadi buku sendiri. Jadi untuk tulisan kali ini, saya rasa saya akan membahas dari salah satu elemen terbawah dalam sistem pendidikan, yang turun langsung ke lapangan, yaitu tenaga pendidik.

UU RI nomor 20 Tahun 2003 mendefinisikan tenaga pendidik sebagai tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Sebagai tenaga pendidik, tentunya mereka (seharusnya) memiliki tanggung jawab moral atas hasil didikan mereka. Namun pada kenyataannya, seringkali kita menemukan kasus tenaga pendidik justru mengambil tindakan atau memiliki pemikiran yang menyangkal tujuan seharusnya seseorang menjadi pendidik:

  • Guru yang melakukan kekerasan fisik terhadap murid
  • Dosen yang bertindak tidak fair dalam akademik kampus
  • Pejabat institusi pendidikan yang mencari pembenaran atas tindakan melenceng di institusi pendidikan terkait
  • dan lain-lain

Padahal seringkali kita menyadari bahwa ada sebagian dari mereka yang memiliki kualifikasi dari segi keilmuan untuk menyampaikan informasi. Sederhananya, mereka memiliki sertifikasi (umumnya dalam bentuk gelar) terkait keilmuan yang mereka ajar. Umumnya dosen adalah contoh paling bagus dalam kasus ini karena sudah dipastikan harus bergelar minimal satu strata di atas strata yang mereka didik. Di sisi lain, ada juga sebagian dari mereka yang kapasitas mengenai keilmuannya bisa saja dipertanyakan, namun mereka bisa membangun semangat belajar peserta didik mereka (to various extent). Contoh terbaik untuk kasus ini mungkin guru-guru bimbel UN yang mungkin kalian sendiri pernah menjadi bagian dari peserta didik mereka, yang entah mengapa membuat kalian lebih semangat dalam belajar (no offense untuk yang belum/tidak UN). Asumsi faktor ekonomi, sosial, dan sebagainya dari individu tenaga pendidik tersebut diabaikan, hal apa yang dapat digali dari kegiatan belajar mengajar yang dipegang oleh tenaga pendidik tersebut?

Salah satu aspek yang seharusnya menjadi pertimbangan dalam meng-cultivate tenaga pendidik adalah pedagogi. Pedagogi adalah ilmu seputar strategi dan teknik pembelajaran. Istilah dengan makna serupa untuk kegiatan pendidikan dengan peserta didik dewasa adalah andragogi (M. Knowles). Mungkin seluk-beluk mengenai andragogi lebih relevan bagi teman-teman mahasiswa/i dan para pembaca yang (akan) memilih profesi sebagai tenaga pendidik di institusi pendidikan tinggi, misalnya dosen. Salah satu dasar dari pedagogi yang sering dilupakan oleh tenaga pendidik adalah tidak pernah ada solusi optimum global untuk seluruh permasalahan terkait teknik mengajar. Menurut saya pribadi, sistem kurikulum sendiri sudah baik adanya untuk menjamin standardisasi pendidikan. Yang jadi masalah, kita sendiri mungkin juga sering lupa bahwa:

  • Standar yang ada adalah standar MINIMAL yang harus dicapai tenaga pendidik dan peserta didik
  • Standardisasi adalah hasil generalisasi, akan ada wilayah-wilayah (dalam konteks konseptual) dalam sebuah sistem pendidikan di mana generalisasi sebagai hasil pendekatan (approximation) tersebut tidak lagi akurat

Saya rasa, baiknya kita modelnya sebuah perkumpulan kecil, misal kelas, sebagai sebuah infintesimal element dari sebuah sistem (maaf istilahnya engineering pisan). Tenaga pendidik yang mengajar semisal guru, dosen, tutor, dll adalah komponen individual yang bertanggungjawab atas kondisi elemen kecil tersebut. Memang betul standar yang ada tetap berlaku sampai ke tahap elemental tersebut, tapi harus diingat bahwa para tenaga pendidik tersebut adalah satu-satunya komponen sistem pendidikan yang dapat berinteraksi langsung dengan individu-individu penyusun infinitesimal element tersebut, alias individu-individu peserta didik. Mereka adalah komponen pendidikan yang mampu memberikan influence bagi peserta didik sampai ke tahap personal.

Sebagai manusia, pendekatan personal seringkali berdampak sangat signifikan bagi peserta didik dibandingkan dengan pendekatan general. Ini adalah salah satu poin yang harus disadari oleh tenaga pendidik. Pemikiran dan tindakan mereka (disadari atau tidak) akan sangat berpengaruh bagi peserta didik yang mereka ajar. Mungkin memang tidak menjadi sebuah syarat tertulis bagi tenaga pengajar, namun dorongan moral adalah satu hal yang membedakan tenaga pendidik yang baik dengan yang buruk. Saya sendiri yakin sebagian tenaga pendidik kita sadar akan hal ini dan mengekspresikan kepedulian terhadap peserta didik mereka sebagai manusia, bukan hanya sebagai angka yang memengaruhi gaji dan beban kerja mereka. Namun di satu sisi ada sebagian tenaga pendidik yang tidak sadar atau bahkan tahu tapi tidak peduli mengenai hal tersebut. Tentunya kita semua sangat menyayangkan fenomena ini. Sebagai pembanding, mungkin teman-teman pembaca bisa melihat kasus kaum buruh di era 1800–1900-an di mana mereka hanya dianggap aset oleh golongan pengusaha. Yep, it didn’t end well. Analisis dari fenomena tersebut menjadi salah satu faktor pendorong berkembangnya ilmu psikologi sampai keberadaan departemen Human Resource di hampir seluruh industri. Sekarang ganti kaum buruh dengan peserta-peserta didik dan pengusaha-pengusaha dengan penyelenggara kegiatan pendidikan.

Berita baiknya, sudah ada beberapa institusi pendidikan yang sudah mengantisipasi segala kendala peserta didik sampai ke tahap emosional. Keberadaan departemen yang menyediakan jasa konseling adalah bentuk konkrit perbaikan tersebut. Saya pribadi tidak tahu apakah ada peran dari pemerintah sampai sejauh ini, namun saya rasa lebih besar kemungkinan para penggerak institusi pendidikan terkait menyadari sendiri dan bersepakat bahwa komponen ini bisa menjadi penting dan berdampak besar dalam kegiatan pendidikan. Kasus ini adalah salah satu skenario positif yang dapat terjadi ketika tenaga pendidik terus belajar mengenai pendidikan bahkan setelah resmi menjadi pendidik.

Salah satu solusi yang ada sekarang terkait pendidikan untuk pendidik adalah sekolah keguruan. Jujur saya belum terlalu melihat lebih dalam soal sekolah keguruan di Indonesia jadi saya tidak akan jabarkan dulu untuk sekarang, daripada sok tahu. Solusi lain yang cukup umum juga adalah training yang harus dijalani calon tenaga pendidik ketika hendak bekerja di institusi pendidikan tertentu.

Sebagai penutup ocehan saya, saya sendiri masih merasa ada yang kurang dari pendidikan yang diberikan bagi para tenaga pendidik saat ini. Tapi habis saya pikir-pikir, hal-hal tadi adalah standar minimal yang harus dicapai oleh seorang tenaga pendidik. Sebagian besar ilmu mengenai bagaimana cara mendidik bisa jadi diperoleh dari pengalaman pribadi tenaga pendidik alias otodidak. Saya sendiri mencita-citakan tenaga pendidik yang mampu berkaca dan berpikir sampai ke tahap filosofis dari pendidikan itu sendiri. Setelah itu, hendaknya tenaga-tenaga pendidik yang sudah mencapai “kasta” ini menyampaikan ilmunya ke para tenaga pendidik lain. Kesannya saya demanding, tapi bukannya cita-cita konyol macam ini yang membantu kita membangun afeksi personal terhadap “hidup untuk belajar”?

Sebagai pelengkap, sebagian dari kita yang mungkin bukan tenaga pendidik juga bisa berperan dalam pendidikan. Minimal pendidik untuk keluarga kita sendiri (yap, jangan takut untuk mendidik orangtua kalian juga), dan dalam mendidik mereka, jangan lupa untuk mengevaluasi diri baik atas hasil yang positif maupun negatif. Ingat kalau anggota keluarga yang kalian didik bisa jadi akan berperan dalam mendidik orang lain yang kalian bahkan tidak tahu/kenal. Pendidikan tidak hanya terbatas pada pendidikan formal, semua orang berkesempatan menjadi pendidik bagi orang lain. Dan pesan saya untuk penggiat pendidikan yang membaca:

Kids are natural born scientists… until society killed them.

--

--