Fakta(pshit) dan Opini: Perform OHU ITB 2019

Wisnu!
6 min readAug 24, 2019

--

Funfact yang (mungkin) tidak fun, tiap tahun ITB menyelenggarakan acara Open-House Unit — akan disebut OHU selanjutnya — yaitu wadah unit-unit kegiatan mahasiswa di ITB mendulang massa untuk kebutuhan regenerasi. Bukan, bukan itu yang akan saya highlight. Dalam acara ini biasanya terdapat sebuah mata acara berupa…anggaplah performance art. Biasanya (dan selayaknya) dipimpin mahasiswa senior FSRD ITB. Para performer biasanya diambil dari angkatan termuda setelah mahasiswa baru (maba) alias anak-anak tingkat 2. Dengan status saya sebagai maba juga, anggaplah saya entah mengapa tertarik juga untuk menyediakan waktu menyaksikan mata acara ini. Mungkin pada dasarnya didorong antusiasme pribadi saya terhadap dunia seni itu sendiri, di mana banyak terdapat ruang untuk hal-hal subjektif — kebalikan total dari apa yang saya terima di lingkungan teknik dan ilmu eksak sehari-hari (karena siangnya saya juga mampir ke gedung FSRD, melihat pameran teman saya dan membeli salah satu karyanya, dengan alasan yang sama). Tadinya saya ingin join salah seorang teman saya yang saya panggil Pep namun ia lenyap jadi saya tetap putuskan untuk menikmati sajian ini sendiri. Tidak masalah, demi kepuasan pribadi saya.

Performance ini dibuka dengan masuknya beberapa sosok berpakaian oriental (ada elemen jepangnya, payung geisha sepertinya) dengan nuansa putih — merah jambu. Saya tidak perlu membahas tata rias para pemain peran di sini karena bagus-bagus saja untuk mata saya yang seakan separuh buta ini. Yang saya amati adalah kecocokan backing track dengan gerakan para performer. Suasana yang dibangun dengan lagu latar bernuansa Tionghoa dengan melodi dipegang alat musik gesek diperkuat oleh gerakan gemulai para performer, seperti menari. Terdapat beberapa keterlambatan gerakan mungkin namun ya namanya juga manusia, belum lagi mungkin persebaran suara di area terbuka yang sudah pasti tidak merata (hukum alam, bitches). Terlepas dari itu, segmen pertama ini berhasil menyita fokus saya. Secara subjektif, engagement terhadap saya sebagai massa yang bebas masuk dan meninggalkan tempat saya simpulkan berhasil. Segmen pertama membuat saya membangun ekspektasi akan hadirnya build up flow karena saya analogikan pembukaan ini seperti pembukaan tirai sutra dari kedua sisinya, bukan seperti menjatuhkan bom atom di 2 kota besar (which I myself tend to do whenever I’m engaged in a performance situation).

Transisi ke segmen berikutnya saya rasakan melalui perubahan backing track diikuti masuknya segelintir performer berkostum merah rasa oriental. Impresi yang saya dapat dari gerakan (tambah suara-suara mereka) dan lagu latarnya adalah bebas dan ceria. Segelintir orang yang dengan polosnya menikmati menjadi diri mereka sendiri dan berbagi keceriaan itu dengan kaumnya (karena kostumnya sama). Dari saya pribadi, segmen ini sempat membuat saya tersenyum dan berpikir,”kapan gua bisa ceria/cerah begitu ya biar orang pada gak takut-takut amat?”.

Di segmen berikutnya ini saya memori saya agak blur karena kelalaian saya mendokumentasikan seluruh segmen dengan rapi dan jelas. Namun yang saya ingat (bisa dikoreksi benar atau salah) adalah masuknya sosok-sosok berkostum cerah keemasan namun dibarengi beberapa bagian kostum berwarna hitam. Kesan yang saya peroleh dari sosok-sosok ini adalah sekumpulan makhluk elegan namun powerful. Jujur, kombinasi warna hitam dan emas tersebut mengingatkan saya akan gitar flying V Rhoads tembakan saya yang saya custom di workshop lokal langganan saya di daerah Cigadung. Kesan yang sama juga saya dapatkan dari gitar saya tersebut. Mungkin kaitan yang saya buat dengan gitar saya hanya pembenaran saja, namun — hey — ini esensi seri tulisan Fakta(pshit) dan Opini yang saya buat, bukan? Gimana saya aja. Satu hal yang saya notice dari sosok-sosok ini adalah mereka membawa objek yang nampaknya seperti senjata tajam berbentuk tombak. Ya…makin senang lah saya sebatas karena ada elemen perang di sana. Hehe.

Segmen ke 4 inilah yang — bagaimana ya, hm… berhasil memanfaatkan cliche plot cerita dengan baik. Di tiap cerita dengan format konvensional pasti ada tokoh antagonisnya, bukan? Klise memang, namun tetap berhasil mengunci fokus saya. Mengapa? Karena kombinasi audio-visual yang lagi-lagi berhasil memenuhi ekspektasi saya (memangnya ekspektasi saya apa sih ah). Lagu latar tiba-tiba bernuansa — surprisingly — horor yang menurut saya total dibarengi dengan hadirnya performer berkostum hitam-hitam, rambut berantakan berwarna kombinasi hitam-cokelat kemerahan disertai wajah putih bernoda garis-garis merah seperti darah inilah yang berhasil membuat saya memutuskan untuk menonton performance ini sampai selesai. Saya ingat terdapat satu bagian dalam lagu latarnya yang menyuguhkan bunyi-bunyian bernuansa horor dengan cerdas — bunyi-bunyian yang mengganggu psikologis seseorang dengan cara menyuntikkan dosis ketidaknyamanan yang tepat via sensor suara kita alias telinga. Bagian ini vital karena andaikan dosis ketidaknyamanan itu kurang sedikit saja, klise segmen perkenalan tokoh antagonis ini akan mendominasi. Di satu sisi, kelebihan dosis ketidaknyamanan itu akan membuat para penonton memilih pergi karena bisa saja risih (ada orang-orang yang sensitif dengan bunyi-bunyian serta visual demikian). Saya amati terdapat beberapa audiens di baris depan yang berhasil diintimidasi oleh makhluk-makhluk ini (jiwa perang saya sangat menikmati bagian tersebut HAHAH). Bagi saya sendiri, segmen ini tersuguhkan dengan kombinasi aspek-aspeknya dalam dosis yang tepat. Buktinya? Saya lanjut nonton sampai selesai. Kembali lagi, sosok-sosok ini nampaknya berusaha menyerang suasana bahagia terutama yang sedang dinikmati makhluk-makhluk di yang terlebih dahulu diperkenalkan di segmen kedua dan ketiga. Seiring berjalannya segmen ini, tensi horornya menurut saya cenderung turun (entah memang direncanakan seperti itu atau tidak) namun mungkin saya sendiri lebih menikmati tensi horor yang terus naik dan berakhir abrupt… meninggalkan kesan what the fuck just happened.

Plot selanjutnya relatif mudah diprediksi — sosok-sosok elegan dan powerful di segmen ketiga terlihat seperti bertarung dengan sosok-sosok berkostum hitam-hitam yang sebelumnya dijelaskan. As expected, pertarungkan dimenangkan oleh — surprise-surprise — sosok-sosok berkostum emas-hitam bersenjata tadi.

Segmen ke 6 (mungkin campur 7) ini adalah segmen yang sejujurnya paling tidak saya pahami. Kemenangan telah dicapai pihak protagonis, namun makhluk-makhluk hitam tadi masih ada di — anggaplah — stage area, namun di satu sisi kombinasi lagu latar beserta gerak-gerik para performer protagonis tidak menunjukkan sikap merayakan kemenangan (mungkin sedikit terlihat perayaan saat confetti meledak, but that’s it). Yang saya tangkap jadinya adalah mereka masih penasaran dengan makhluk-makhluk hitam ini. Mungkin saja ini adalah segmen klise yang lain di mana kubu protagonis cenderung berusaha mengajak pihak antagonis untuk berubah. Seperti plot sebagian anime hero — seperti Naruto yang mengubah Sasuke di saat-saat akhir dengan Talk no Jutsu-nya. Saya tekankan, saya bisa saja salah di sini karena pandangan saya yang cukup terhalang di segmen ini namun silakan dikoreksi jika berminat, jika tidak… ya… yaudah.

Akhirnya performance ditutup dengan apa yang nampak seperti tarian seluruh peran yang terlibat. Lagu latar yang dipilih juga sudah membawa kesan finale dengan baik. Saat lagu dan gerakan selesai, decorative property OHU berupa sebuah (sepertinya) bunga raksasa keemasan terbuka atau mekar. Momen ini berhasil diperkuat dengan berhentinya gerakan para performer secara serentak dan keputusan perancang perform untuk menuntut performer menahan posisi final mereka selama beberapa waktu untuk membiarkan penonton menyerap megahnya suasana di akhir cerita — seperti “and they live happily ever after” disertai blackout perlahan kalau di film-film Disney… bedanya tentu di sini tidak bisa menghilang perlahan. Akhirnya para performer meninggalkan “panggung” (ya, Boulevard ITB) dengan rapi berbaris sambil tetap mempertahankan karakter yang dibawa — which is great. Saya sendiri juga suka performer yang mempertahankan personanya sampai mereka benar-benar hilang dari pandangan audiens, misal grup metal yang meninggalkan panggung tetap dengan wajah bengis.

Setelah perform selesai, saya — dan sebagian penonton tentunya — segera meninggalkan lokasi karena tidak ada gunanya lagi saya berada di sana. Toh sendiri juga, buat apa lama-lama. Saya biarkan apapun yang saya saksikan tadi menguasai pikiran saya karena saya maunya begitu.

Mengapa saya spesifik ingin menulis tentang perform OHU ITB 2019 ini? Atau mungkin mengapa dari awal saya ingin menyaksikannya? Karena sekali lagi dari awal saya sadar, suguhan seperti ini adalah barang mewah bagi saya yang notabene adalah anak teknik. Tidak jarang saya dianjurkan untuk tidak melakukan sesuatu dengan dasar just because, karena angka (hasil kuantitatif) sangat mungkin berkata lain dari apa yang saya harapkan atau kehendaki. Bukan berarti saya menganggap divisi Perform atau mahasiswa FSRD secara general melakukan segala sesuatu dengan alasan just because tersebut. Tentunya saya tahu segala karya yang dihasilkan harus ada esensinya dan bisa dipertanggungjawabkan dengan alur pikir akademisi (didikan ITB sekali), namun yang saya highlight adalah lebih besarnya ruang mereka untuk berkreasi dan dengan sengaja menyisakan ambiguitas dengan dosis tertentu yang pastinya lebih tinggi daripada yang saya terima di lingkungan engineering. Di tengah kondisi personal saya yang saat ini relatif berantakan (quarter life crisis kali ya), saya merasa diingatkan untuk mengapresiasi selingan-selingan kecil di luar fokus saya seperti misalnya performance tersebut. “Cherish those little things” lah bahasa kerennya. Saya kembali diingatkan kalau saya tetap manusia yang punya sentimen, perasaan, sisi lunak, you name it. Semoga saja dengan pencerahan kecil ini, saya bisa menjadi orang yang lebih positif dalam memandang banyak hal dan bisa berbagi pandangan positif kepada orang-orang di sekitar saya — keluarga, teman-teman dekat, gebetan (mungkin) — dengan tetap menjadi diri saya sendiri — seenak jidat, seringkali keras kepala namun totalitas dalam segala hal yang saya lakukan. Jadi, kudos untuk semua yang terlibat, terima kasih.

Karena pada akhirnya Wisnu hanyalah Wisnu.

Perform OHU ITB 2019 (IG Story : @ scientificmeme)

--

--

Wisnu!
Wisnu!

Written by Wisnu!

{{ insert_pretentious_bullshit_here }}

No responses yet