Belakangan ini saya mengamati konten-konten yang bertebaran di internet, banyak sekali tulisan mengenai kaum perempuan, baik fakta maupun opini, beserta perang pandangan mengenai mengapa dan bagaimana seorang perempuan harus bersikap, bertindak , berpikir, dan lain-lain; umumnya disertai debat kusir. Saya sedikit penasaran jadinya apa tidak ada yang mau memulai diskusi tentang kaum laki-laki? Mungkin ada, tapi kali ini biar saya ambil alih topik yang rasanya tak tentu menjual ini. Lebih mudah jualan topik-topik terkait perempuan, bukan? Entah, peduli setan. Saya mau menyampaikan apa yang mau saya sampaikan.
Seperti biasa, saya akan memulai dengan beberapa pernyataan yang memiliki nilai kebenaran ilmiah. Ada banyak sumber mengenai hal-hal yang akan saya paparkan namun untuk memudahkan proses konfirmasi (bagi para pembaca yang selalu berusaha membuktikan saya salah), saya akan gunakan satu sumber saja yaitu buku berjudul The Dragons of Eden : Speculations on the Evolution of Human Intelligence yang ditulis oleh Carl Sagan dan diterbitkan pada tahun 1977.
Ketika hendak bicara tentang laki-laki atau perempuan sebagai manusia, ada baiknya kita semua mengetahui sedikit kronologi kehadiran manusia di tengah alam semesta ini. Kita adalah produk dari perpaduan seleksi alam dengan evolusi yang berlangsung simultan. Mulai dari atom C (karbon), molekul-molekul yang terdiri dari atom-atom C-H-O-N (karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen), menjadi organisme sel tunggal, sel banyak, hingga singkat cerita menjadi manusia dengan versi terbaru saat ini adalah kita, kamu dan saya yang mampu membaca tulisan ini, Homo sapiens. Seiring berjalannya proses yang panjang tersebut, secara umum makhluk hidup yang sudah tergolong kompleks (bukan lagi sel tunggal) terbagi menjadi dua berdasarkan perannya dalam reproduksi: jantan dan betina. Pembagian berdasarkan peran dalam reproduksi menjadi penting karena pada dasarnya tiap makhluk hidup memiliki kecenderungan untuk mempertahankan keberadaan spesies mereka, tak terkecuali manusia. Proses lengkap dan detil dapat teman-teman cari sendiri di buku tercantum atau banyak sumber lain di internet (hati-hati hoax). Ada beberapa poin dari perkembangan makhluk hidup berjenis kelamin jantan yang menurut saya menarik:
- Pada banyak spesies, individu pejantan lebih aktif mencari betina ketimbang sebaliknya
- Dalam proses pemasangan yang melibatkan perkelahian antar 2 atau lebih individu pejantan, individu betina cenderung mengambil individu pemenang. Dalam kasus ini, biasanya individu jantan diperlengkapi dengan atribut-atribut yang menunjukkan dominansi seperti tanduk, ekor, otot, rambut atau bulu di daerah tertentu, dan sebagainya
- Beberapa spesies yang lebih kompleks menunjukkan adanya ikatan dalam level menyerupai emosional antara 1 pejantan dengan 1 betina (dilengkapi ikatan lebih kuat antara individu betina dengan keturunannya)
- Beberapa spesies mengharuskan individu pejantan mati untuk menjamin kelangsungan hidup keturunannya yang dititipkan ke individu betina
Dari 4 poin di atas, mungkin sudah mulai ada bayangan di benak teman-teman pembaca bagaimana alam membentuk individu pejantan dalam keluarga Animalia. Sepertinya juga 4 poin tersebut seakan-akan menjadi program standar yang tertulis dalam otak Homo sapiens jantan yang terbukti berumur paling tua, yaitu otak bagian belakang yang seringkali disebut “otak reptil” karena isinya hanya sebatas insting bertahan hidup, insting yang dimiliki semua makhluk hidup. Namun dalam kasus manusia laki-laki (sebenarnya tetap saja disebut Homo sapiens pejantan, tapi ya agar-supaya tidak terlalu menyakiti kalian yang kekeuh kalau manusia di atas binatang derajatnya, manatau kalian rapuh, hehh…), sistem otak keseluruhan yang dimiliki sudah jauh lebih kompleks. Kehadiran otak reptil yang terletak di belakang tadi dilengkapi dengan otak tengah dan otak depan yang mengatur rasio, emosi, sebagian memori, serta beberapa hal lain yang saya sendiri cukup malas untuk berusaha menyebutkan semua.
Hasil interaksi antara insting bertahan hidup dari otak belakang dengan benang kusut rasio-emosi dari otak tengah dan depan inilah yang menurut saya menarik, sedemikian menariknya sampai saya merasa harus menuangkan opini saya (yang didasari sekumpulan fakta ilmiah di atas) dalam satu tulisan tersendiri alias tulisan ini. Mungkin pertanyaan seperti berikut pernah terbesit di benak teman-teman pembaca, terutama yang berjenis kelamin laki-laki:
Menjadi seorang laki-laki itu sebenarnya apa? Bagaimana? Mengapa begitu?
Sayang sekali, saya hanya bisa berusaha mengarahkan setengah buta namun tidak dapat memberi jawaban eksak bagi teman-teman yang bertanya demikian. Kalau dilihat kembali dari apa yang dibentuk oleh alam, agaknya seorang laki-laki dituntut menjadi sosok yang kuat secara fisik, dominan dalam relasinya dengan perempuan, berpenampilan (mungkin) atraktif, pada kodratnya mengejar perempuan yang akan dijadikan pasangan terlepas ingin memiliki keturunan atau tidak. Laki-laki berada di lingkaran luar untuk menghalau entitas-entitas lain yang hendak menyakiti pasangan dan keturunannya sementara perempuan berada di lingkaran dalam untuk melindungi diri serta keturunannya. Ketika ada yang harus mati pertama, maka slot itu diisi sosok laki-laki. Kesannya agak roman picisan sepertinya, namun pandangan itu telah diwariskan turun-temurun. Buktinya? Dari hal-hal sederhana saja seperti:
- Spontan membantu teman perempuannya yang membawa bawaan banyak atau berat (ditambah susunan tubuh laki-laki cenderung lebih dilengkapi otot-otot yang dapat mengeras, fungsinya pertahanan diri terkait fisik)
- Saat menyeberang jalan dengan teman perempuan, otomatis mengambil posisi yang membuatnya bertugas “menyeberangkan”, teman perempuannya tinggal mengikuti aba-aba tangan laki-laki
- Kalau ada maling masuk rumah, suami turun pertama sementara anak dan istri umumnya diminta berjaga-jaga di tempat aman seperti kamar tidur utama
- Kalau terjadi perang, tentara yang maju mayoritas laki-laki. Umumnya pun yang tidak boleh disakiti sama sekali adalah kaum perempuan dan anak-anak
- Ya…kalian kalau mencomblangi orang, yang disuruh “nembak” yang laki-laki kan bukan yang perempuan? Hayo
Yap. Sepertinya otak reptil kaum laki-laki masih berperan besar sampai ke ranah posisi dan perannya dalam masyarakat secara umum. Saya cukup yakin kaum perempuan memiliki sejarahnya sendiri yang sama lengkapnya berdasarkan kalender kosmik yang sama dengan yang saya jelaskan di awal untuk laki-laki… tapi itu cerita lain lagi. Hanya sebatas itu jawaban spesifik yang dapat saya berikan, berdasarkan apa yang ada di alam. Pertanyaan yang membuat pikiran saya dan mungkin teman-teman pembaca semakin kusut mungkin justru pertanyaan lanjutan dari pertanyaan sebelumnya yang telah dijawab sebisanya di atas:
Laki-laki hanya sebatas itu?
Tentu dengan lantang mayoritas dari kita akan menjawab tidak
Jadi, seluas apa sebenarnya menjadi seorang laki-laki? Laki-laki itu seharusnya bagaimana?
Baru kita semua bingung.
Bolehkah seorang laki-laki menjadi tidak dominan dalam sebuah relasi? Boleh-boleh saja. Bolehkan seorang laki-laki merasa sedih lalu mungkin menangis dibandingkan dengan marah-marah diikuti main otot? Boleh-boleh saja. Bahkan saya rasa sudah bukan eranya perempuan mencari laki-laki yang sedikit-sedikit main pukul atau hantam. Beberapa teman saya yang perempuan bahkan menyatakan sedikit dosis kerapuhan yang ditunjukkan laki-laki membuat mereka para perempuan merasa tidak takut, aman dan nyaman, agaknya memberi tanda bagi mereka bahwa para laki-laki ini masih manusia, hanya saja berbeda jenis kelamin dengan mereka.
Lalu benang mulai kusut ketika harus memisahkan atau melakukan klasifikasi antara apa yang seharusnya dengan apa yang diperbolehkan dalam menjalankan hidup sebagai seorang laki-laki. Ada kumpulan ekspektasi yang diwariskan turun-temurun oleh kebudayaan kita dari zaman entah kapan, ada juga perubahan dan/atau pergeseran nilai dalam kehidupan bermasyarakat yang terjadi seiring berjalannya waktu.
Yang ingin saya tekankan melalui tulisan ini adalah: maaf kalau tulisan ini tidak berhasil benar-benar menjawab pertanyaan-pertanyaan teman-teman pembaca mengenai menjadi laki-laki itu sendiri karena, terutama untuk para pembaca yang tergolong Homo sapiens betina, sama seperti kalian, ada beberapa hal mengenai menjadi laki-laki yang mungkin saja setara kompleksnya dengan menjadi seorang perempuan, hanya berbeda bentuk saja. Sebanyak kita semua membicarakan perempuan, agaknya tidak ada salahnya mulai membahas laki-laki juga. Karena kita sama-sama manusia. Bisa jadi ketika pembahasan antara laki-laki dan perempuan kian berimbang, tidak ada lagi fenomena toxic masculinity vs feminazi (ya tuhan, siapapun tuhan saya, ampuni saya mengeluarkan 2 istilah tersebut, saya sendiri jijik menuliskannya tapi apa daya adanya cuma itu). Yang jelas, sangat saya sarankan kita semua mulai sekarang berangkat dari asal-usul manusia itu sendiri sebelum membahas masing-masing laki-laki serta perempuan secara terpisah. Akhir kata, saya percaya sama seperti tiap perempuan berbeda, tiap laki-laki juga berbeda satu dengan yang lain, namun tetap terdapat kesamaan antara seorang laki-laki dengan laki-laki lain sebagaimana terdapat kesamaan antara seorang perempuan dengan perempuan lain. Semoga teman-teman pembaca tergerak untuk mencoba mengembangkan tulisan ini atau mungkin mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tertulis di atas tadi, disertai dengan bukti-bukti lebih kuat tentunya, kalau ingin dibumbui opini juga tidak masalah.
Sebagai penutup tulisan ini, saya beri bonus funfact yang tidak fun: Apakah laki-laki boleh manja juga? Boleh (mungkin sesekali menurut norma yang ada). Semanja apa? Beberapa laki-laki, apabila bertemu pasangan perempuannya, bahkan dapat bertingkah layaknya anak-anak
…
minta disusuin misalnya
hehe hehe