“Kerudung Dukstak”

Wisnu!
5 min readJun 6, 2020

Jadi, karena saya sedang agak luang dan semi-semi kehabisan ide, saya putuskan untuk bengong di kost teman saya, berharap ada karya yang bisa saya produksi. Sebetulnya sudah ada karya yang draft-nya saya selesaikan barusan, tapi mumpung malam minggu kosong ya sudah saya putuskan buat tulisan seenak jidat sepertinya asyique juga.

Pokoknya entah kenapa saya tiba-tiba teringat teman saya yang dulu pernah curhat ke saya soal struggle dalam memantapkan diri mengenakan kerudung. Dia bilang merasa aman curhat ke saya karena dia tahu saya tidak akan nge-judge. Ya, mau nge-judge bagaimana? Kan saya kafir jadi ya agak-agak bodo amat juga sebetulnya. Tapi ya sudahlah, waktu itu saya putuskan untuk membiarkan dia nyerocos saja.

Untuk kemudahan penyampaian, mari kita beri teman saya ini nama samaran perempuan paling pasaran yang pernah ada di bumi pertiwi ini; Maheswari, dipanggil Sari. Agar sedikit terasa seperti cerita dewasa, akan saya paparkan dengan cara begini:

“Perkenalkan, saya Danzo (nama samaran untuk menjaga privasi saya), pria kelahiran Jakarta dengan etnis campuran Cibaja alias Cina-Batak-Jawa. Kejadian ini memilih Bandung sebagai latar tempat dan malam hari sebagai latar waktunya. Hari itu, saat saya sedang berusaha mengerjakan tugas akhir sarjana saya, ponsel saya mendapat sebuah notifikasi. Ketika saya lihat, ternyata ada sebuah pesan Whats*pp (nama platform sosmed disamarkan demi menjaga privasi) dari Sari. Sari menyampaikan dengan jelas bahwa ia sedang dilanda beban pikiran. Ketika saya tanya mengenai apa, Sari menjawab bahwa ia sedang bimbang dengan loyalitasnya kepada keputusannya untuk tetap mengenakan kerudung.

Sontak saya kaget karena setahu saya Sari sudah berkerudung sejak lama (dari sebelum saya bahkan mengenalnya). Lalu kenapa tiba-tiba? Tanpa pikir panjang, melesatlah saya menuju kost Sari untuk menjemputnya menggunakan sebuah mobil Yaris berwarna oranye dengan nomor polisi N 140 GBA. Setibanya saya di sana, langsung saya kabari bahwa saya sudah di depan kostnya. Sari pun keluar dan berbasa-basi singkat sembari masuk ke dalam mobil yang kacanya gelap layaknya mobil yang didesain untuk berbuat mesum. Saya ajak Sari ke sebuah tempat di Bandung yang saya tahu seharusnya bisa menenangkan orang-orang yang nyaris gila tanpa harus melakukan tindakan-tindakan yang sangat diinginkan. Kami pun tiba dan memesan Indomie dan susu panas untuk sedikit memberi rasa di mulut kami masing-masing.

Kami pun duduk dan Sari mulai bercerita. Ia sedang merasa isi kepala dan isi hatinya tidak sinkron. Ia mengklaim tahu betul bahwa sudah kewajibannya sebagai seorang perempuan berstatus umat agama tertentu untuk mengenakan kerudung di umurnya saat itu dan tidak ada alasan untuk melepasnya. Namun di satu sisi, ia merasa ada sebagian dirinya yang mempertanyakan kembali keputusannya.

Layaknya Sari yang saya kenal, ia sempat bereksperimen tidak mengenakan kerudung saat sedang berada di rumahnya di kota asalnya. Sari menjelaskan bahwa ia menjadi bahan omongan 1–2 tetangganya. Sepintas yang ia dengar, poin-poin yang terlempar dari mulut para tetangga adalah ibu Sari gagal mendidik Sari untuk tetap menjaga imannya. Kasarnya, ibu Sari membiarkan iman sari “berkurang”. Ditambah kebiasaan Sari pulang malam karena memang tuntutan hal-hal yang ia kerjakan, ia bahkan dituduh berprofesi sebagai wanita panggilan. Tentu saja semua omongan ini hanya terjadi di belakang Sari. Seperti yang kita tahu, salah satu ciri khas masyarakat Indonesia adalah kebiasaan bermuka dua, bersikap pengecut, serta menuduh tanpa bukti disertai hobi mencari kambing hitam dibandingkan mencari solusi.

Yang menarik, respon ibu Sari sendiri terhadap anaknya justru berbeda 179 derajat (karena kesempurnaan hanya milik Zeus) dari respon para tetangga bajingan yang tadi disampaikan Sari. Sembari saya biarkan sari bersandar di punggung/pundak saya, Sari menceritakan bahwa ibunya justru memberi kebebasan pada Sari untuk tetap mengenakan kerudung atau melepasnya. Sari menyatakan secara eksplisit bahwa ibunya lebih menghargai kedamaian jiwa Sari dibandingkan menyelamatkan mukanya dengan memberikan tambahan tekanan kepada Sari.

Sari mengaku merasa tertolong dengan sikap ibunya yang selalu mendukung apapun keputusannya asal disampaikan dengan argumen yang sebaik-baiknya disertai kejujuran mengenai perasaannya. Ya. Sari sebagaimana Sari yang saya kenal tentu tidak sekonyong-konyong melepaskan kerudungnya sambil berteriak bahwa ini semua hasil opresi sistem terhadap perempuan serta kebusukan budaya patriarki. Sampai di sini, saya putuskan untuk mulai merangkul Sari karena toh memang saya sejatinya adalah sosok teman laki-laki yang baik.

Saat Sari meminta pendapat saya, tentu saya tidak sedikitpun kebingungan. Saat itu saya berpikir sederhana saja; Sari datang ke saya karena setahunya saya bukan jenis orang yang hobi menghakimi, jadi ya sudah saya tetap netral. Saya sampaikan padanya bahwa saya memahami poin-poin yang ia sampaikan dan sedikit-banyak berhasil memposisikan diri saya sebagai dirinya dalam situasi yang ia ceritakan. Saya katakan padanya bahwa semuanya terserah dia dan bukan kewajibannya untuk ambil pusing. Toh kalau dipikir-pikir juga, kalau memang Zeus sudah menggariskan takdir Sari akan kembali berkerudung suatu saat nanti, Sari tidak akan bisa mengelak kok. Demikian pula sebaliknya, sih.

Seketika itu juga wajah Sari menjadi cerah. Senyumnya menggambarkan sebuah perasaan spesifik; perasaan lega karena ada orang yang memang mendengarkan ucapannya, berusaha memahami dirinya, serta memberikan dukungan terhadap keputusan yang diambilnya. Memang manusia itu unik. Terkadang kita hanya butuh suara eksternal yang meyakinkan kita akan pilihan kita untuk sedikit merasa lebih bahagia. Sari pun menutup ceritanya dengan menceritakan bagaimana ia berhasil memanfaatkan momen silaturahmi saat hari raya tertentu untuk bertemu dengan tetangganya. Katanya, saat itu Sari menyampaikan kepada tetangganya bahwa ia tahu betul apa yang menjadi omongannya di belakang Sari selama ini. Pukulan telak diberikan Sari pada sang tetangga saat Sari mengatakan bahwa Sari sudah memaafkan kelakuan busuk tetangganya itu jauh sebelum momen ini. Seperti yang saya duga, Sari mengatakan bahwa tetangganya hanya bisa kicep sambil berusaha menyangkal dengan senyuman penuh rasa gugup dibumbui dengki.

Setelah curhat selesai, kami pun membayar dan kembali ke dalam mobil. Seperti biasanya, saya antarkan Sari sampai ke depan kostnya. Saya tunggu ia masuk kostnya demi keamanan dirinya juga dan setelah itu saya kembali ke kost saya untuk rebahan (karena sudah tidak mungkin rasanya setelah itu melanjutkan tugas akhir saya untuk hari itu).”

Jadi apa moral cerita ini sebetulnya? Mbuh…. Saya juga bingung. Kaitan isi tulisan dengan judulnya pun tidak ada. Tapi kalau boleh saya sok-sokan mencari nilai moralnya, sepertinya ada di bagian mendengarkan. Seringkali rasanya kita mendengarkan teman kita curhat bukan karena tulus ingin meringankan bebannya, melainkan karena kepo saja — atau bahkan setengah-setengah mendengarkan sehingga cuma bisa merespon dengan,“hmm… iya iya, terus?”. Dari pengalaman saya dengan Sari, saya simpulkan terkadang memang orang hanya butuh didengar saja. Toh, pada hakikatnya kita memang makhluk sosial bukan? Dan satu lagi; tanya dulu pada lawan bicara kita sebelum curhat apakah dia juga sedang berusaha mencari solusi atau pendapat pribadi kita mengenai masalahnya. Memang terkesan kaku, tapi percayalah kalau jauh lebih baik bagi kedua pihak untuk saling mengetahui keinginan dan kebutuhan lawan bicaranya dibandingkan dengan saling sok tahu dan berujung mengucapkan/melakukan sesuatu yang ternyata malah memperburuk keadaan salah satu atau kedua pihak. Ingat, banyak orang yang bunuh diri karena merasa tidak dipahami oleh siapapun. Berjaga-jaga lebih baik daripada menyesal. Berkomunikasilah. Jangan sampai mulut dan telinga kita hanya jadi pajangan atau bahkan senjata bagi orang-orang kesayangan kita.

Untuk mengakhiri cerita di atas, saya berikan dialog yang dari tadi saya simpan untuk dijadikan punchline. Kira-kira begini dialognya:

“Kalau nanti gue pas acara gak pake kerudung, lo gapapa kan?”

“Jangankan gak pake kerudung, elu gak pake baju aja gua gak masalah”

--

--