“Lawan Merah Memang Biru”: Warna dari Sudut Pandang Fisika

Wisnu!
7 min readJan 3, 2020

--

Sudah lama rasanya saya tidak menulis sesuatu yang berangkat dari ilmu eksak. Berhubung saya punya beberapa teman dari jurusan seni rupa dan desain (dan kriya yang tidak disebut di nama fakultasnya, huhu kasihan), tulisan kali ini saya coba angkat dari salah satu hal yang paling erat kaitannya dengan mereka dan yang saya sendiri juga cukup tertarik (kalau tidak mana mungkin saya buat tulisannya)— anggap saja funfact yang fun atau tidaknya itu urusan masing-masing. Tulisan ini berisi sedikit pembahasan ilmiah mengenai warna.

Kalau dari judulnya, mungkin kita semua sudah sering mendengar warna merah yang diasosiasikan dengan paham kiri dan warna biru yang diasosiasikan dengan paham kanan. Sedikit informasi mengenai kedua paham tersebut — in a nutshell, sangat — dengan mengacu pada PD II, paham kiri dianut oleh USSR sedangkan paham kanan dianut oleh USA. Contoh penerapan warna merah dan biru dapat kita lihat pada sampul buku masing-masing tokoh ekonomi: merah Das Kapital oleh Karl Marx dan biru the Wealth of Nations oleh Adam Smith.

Das Kapital — Karl Marx
the Wealth of Nations — Adam Smith

Ya keduanya diambil daro mbah Google. Coba saja ketik masing-masing judul buku atau masing-masing tokoh di dua tab berbeda. Kalian akan menemukan yang satu sarat gambar bernuansa kemerahan dan yang lain penuh dengan yang bernuansa kebiruan.

Saya tidak akan membahas mengenai kedua kubu ini lebih lanjut karena bukan tujuan tulisan ini. Nanti panjang lebar lagi, malas juga saya pribadi. Lebih lagi, latar belakang pendidikan saya adalah ilmu eksak bukan sosial. Sekarang saya arahkan ke pertanyaan yang menjadi alasan saya menulis tulisan ini:

Memang lawan warna merah itu biru?

Mungkin teman-teman pembaca pernah juga bertanya-tanya demikian. Saat membahas kedua kubu tersebut, saya yakin pernah terbesit dalam benak teman-teman asosiasi warna yang terjadi pada masing-masing kubu serta konstelasi berbagai informasi visual terkait dinamika internal dan antar kedua kubu — termasuk warna yang terikat. Kembali ke pembahasan mengenai warna. Ada baiknya kita berangkat dari asal-usul keberadaan warna yang kita lihat itu sendiri.

Mengapa sebuah objek bisa memiliki warna?

Sebuah objek bisa memiliki warna karena ada cahaya yang mengenai objek tersebut. Contoh paling mudah adalah cahaya matahari yang mengenai bumi. Tanpa adanya cahaya, jangankan melihat warna — melihat objek tersebut pun kita tidak akan bisa. Kenapa? Karena mata kita bekerja dengan cara menangkap gelombang cahaya yang terarah ke pupil. Selesai sudah perkara mengapa kita bisa melihat dan mengapa untuk melihat dibutuhkan cahaya. Sekarang soal warna yang nampak dengan menggunakan cahaya matahari sebagai contoh. Cahaya matahari yang sampai ke bumi berwarna… relatif putih. Cahaya berwarna putih sebenarnya adalah cahaya yang memiliki seluruh spektrum warna cahaya. Spektrum warna cahaya paling kita kenal dalam bentuk warna-warna pelangi hasil pembiasan cahaya matahari oleh air hujan: mejikuhibiniu kalau dulu kita diajari oleh senior-senior kita alias guru-guru dan orangtua. Gambaran visual pembiasan tersebut akan saya tampilkan menggunakan salah satu cover album paling terkenal sepanjang sejarah musik modern berikut.

Pasti pernah lihat kamu, jangan bohong

Kembali lagi, cahaya matahari yang terdiri dari kumpulan spektrum cahaya tersebut mengenai objek-objek yang ada di permukaan bumi. Setelah mengenai objek-objek tersebut, objek-objek tersebut akan tampak dan menampilkan warna spesifik. Warna yang ditampilkan dapat disebabkan oleh dua kemungkinan:

  1. Objek tersebut memantulkan spektrum cahaya tertentu
  2. Objek tersebut menyerap spektrum cahaya lain kecuali spektrum cahaya tertentu

Perhatikan perbedaan dua jenis penyebab kehadiran warna tersebut. Pada kasus 1, objek yang terkena cahaya putih tidak meneruskan gelombang cahaya yang diterima, melainkan menyebarkan dan memantulkan spektrum-spektrum warna yang ada ke berbagai arah. Sedikit teknis, setiap spektrum cahaya memiliki tingkat energi dan panjang gelombang yang berbeda. Relasinya (in a nutshell) adalah sebagai berikut:

v = λf

dengan v adalah kecepatan rambat cahaya, λ adalah panjang gelombang cahaya dan f adalah frekuensi (terkait tingkat energi) cahaya. Berikut tabel relasi λ dan f untuk visible light.

λ dan f masing-masing spektrum warna. λ dan f berbanding terbalik

Kecepatan cahaya pada suatu medium selalu konstan, sehingga dengan medium konstan, yang dapat berubah adalah nilai λ dan f. Dengan informasi tersebut, ketika seabrek spektrum cahaya putih mengenai sebuah objek, spektrum spesifik akan mengalami pantulan ke arah spesifik. Spektrum yang kemudian terarah ke mata kita adalah warna yang kita lihat dimiliki oleh objek tersebut. Contoh paling mudah adalah foto bumi yang berwarna biru jika dilihat dari luar angkasa dengan jarak cukup jauh. Warna hijau tumbuhan dan cokelat daratan serta putih es di kedua kutub tidak akan terlihat.

Contoh kasus 1: bumi (kiri) dilihat dari luar angkasa dengan jarak cukup jauh

Cukup sekian untuk kasus 1, karena kasus 2 akan menjawab masalah lawan warna. Di bagian agak awal tadi telah dipertanyakan apakah lawan merah adalah biru. Tapi alangkah baiknya kita bahas dulu:

Memang sebuah warna bisa memiliki lawan warna?

Di sinilah kasus 2 berperan. Kasus 2 menyatakan bahwa warna suatu objek bisa muncul bukan karena objek tersebut memantulkan spektrum cahaya tertentu, melainkan karena menyerap spektrum cahaya lain selain spektrum cahaya tertentu. Dengan menggunakan contoh cahaya matahari yang berwarna putih juga, objek di kasus 2 yang terkena cahaya tersebut menyerap semua spektrum cahaya lain kecuali spektrum cahaya tertentu. Spektrum cahaya yang tidak diserap itulah yang kemudian tampil sebagai warna objek tersebut bagi mata kita. Perlu dicatat bahwa penyerapan spektrum cahaya tidak merata. Ada spektrum yang diserap habis namun ada juga yang tidak mampu diserap habis oleh objek (penjelasan yang kasar sekali tapi telan saja dulu karena penjelasan lebih lanjut harus membahas masalah eksitasi elektron, ogah). Spektrum cahaya yang “tertinggal” inilah yang menjadi warna objek terkait yang kita lihat. Contoh kasus 2 paling jelas adalah laut yang berwarna biru. Berikut adalah representasi visual dari proses terjadinya warna biru laut.

Contoh kasus 2: penyebab warna laut terlihat biru

Analogi buruknya adalah pada kasus pertama kamu melihat sepotong kue di atas meja karena memang dari awal yang berhasil dimasak hanya sepotong kue tersebut sedangkan pada kasus kedua kamu melihat sepotong kue di meja karena makanan yang lain dihabiskan oleh temanmu yang tidak tahu diri.

Ini belum menjawab pertanyaan kita soal lawan warna. Namun kalau teman-teman pembaca mengamati kasus 2 dengan seksama, harusnya muncul pertanyaan:

Apakah ada korelasi dan/atau kausalitas antara warna yang diserap habis dengan warna yang tersisa?

Jawabannya adalah ya. Dari sinilah kita dapat menyatakan keberadaan lawan warna dan menyatakan “hukum”-nya secara objektif. Kita tidak perlu lagi melakukan riset karena sudah ada yang memberikan hasil yang komprehensif untuk kita jadikan pegangan dalam bentuk diagram berikut:

The Colorist Chart oleh J.A.H. Hatt

Lawan warna dalam diagram tersebut diberi terminologi komplementer (complementary). Terdapat kalimat di bagian bawah diagram yang berbunyi

“Colors opposite each other are complementary”

Artinya, apabila kalian memilih warna spesifik dalam diagram tersebut, maka komplemen dari warna yang kalian amati adalah warna yang berada 180 derajat dari warna tersebut. Prinsip inilah yang menjadi dasar mengenai konsep lawan warna dan dasar hubungan antara spektrum cahaya yang diserap dengan spektrum cahaya yang tersisa untuk mata kita lihat.

Sebagai formalitas, dengan mengacu kembali ke judul dan menggunakan diagram tersebut, lawan dari red adalah cyan blue. Memang sampul kedua buku tidak benar-benar bertolak belakang apabila dilihat dari The Colorist Chart namun ketika membahas masalah kubu kiri-kanan siapa yang peduli? Yang penting yang satu biru dan yang lain merah, bukan?

Yah, pada akhirnya, mungkin masih banyak konsep yang dapat kita asosiasikan dengan warna tertentu dan akan lahir konsep penentangnya yang dapat menggunakan warna komplementer. Bahkan habis saya pikir-pikir, konsep yang sudah ada mungkin dapat diperbaiki masalah representasi warnanya. Misalnya yang sering kita temui adalah perempuan — pink dan laki-laki — biru. Padahal kalau — misal — perempuan dan warna pink yang menjadi acuan (dalam diagram hanya magenta yang paling dekat, jadi akan saya gunakan warna tersebut sebagai acuan), maka laki-laki harusnya diasosiasikan dengan warna yang bernuansa kehijauan (green 180 derajat dari magenta).

Dan saya tiba-tiba jadi kepikiran soal kalian anak-anak seni yang suka pakai baju hitam. Warna hitam itu kan artinya semua spektrum cahaya matahari diserap. Termasuk panasnya juga. Terus kalian sendiri yang suka komplen kalau gerah waktu siang atau ada/kena matahari. Apa ini alasan kalian hidupnya pada malem? Biar gak gerah siang-siang ketemu matahari? Terus pas siang malah tewas, gak kelas? Ah tapi hipokrit rasanya kalau saya hujat, toh kelakuan saya juga tidak beda jauh dari yang saya tuduhkan ke kalian barusan. Atau tuduhan saya barusan justru cuma cerminan saya sendiri memang, ya? Ah, yang penting isi kepala kita beda. Hehe. Ya kali sama…S2.

--

--