Marhaban Ya Natalan (?)

Wisnu!
3 min readDec 25, 2019

--

Iya, begini-gini juga saya masih selalu menunggu libur singkat akhir tahun yang somehow for some reason selalu disebut “libur Natal dan tahun baru”. Tapi ya siapa sih yang komplain soal penyebutan hari raya Natal kalau ternyata kecipratan liburnya juga? Eh, ada saja sih sebenarnya, tau sama tau lah — orang-orang yang pas Natalan disuruh demo buat melarang perayaan Natal. Oh begitu ternyata! Karena mereka justru tidak kecipratan liburan saat Natal — malah disuruh kerja dalam bentuk bikin demo — makanya mereka selalu komplain soal perayaan Natal. Eh, ya, tapi itu lain cerita lagi lah. Panjang lagi nanti, sampai lupa saya mau bahas apa di tulisan ini.

Ini hanya curahan otak (gak pakai hati) saya sih. Kalau pakai istilah teman saya ,”just my two cents”. Buat teman-teman yang bukan penganut kepercayaan Nasrani, impresi yang teman-teman dapat soal hari raya Natal itu seperti apa sih? Meriah kah? Sesuatu yang… I dunno — festive? Tapi yang jelas, kalau teman-teman mengasosiasikan Natal dengan diskon besar-besaran di berbagai pusat perbelanjaan, saya jelas tak ambil pusing — wong soal agama saja (termasuk yang tertulis di KTP saya) saya secara umum tak pernah ambil pusing, paling jadi konten meme saja. Saya juga selalu mengincar diskon toko alat musik di akhir tahun. FYI, diskonnya dijamin gila-gilaan, lumayan buat hunting pedal efek.

Duh, mari kita kembali ke judul dulu saja. Sejauh yang saya tahu, marhaban itu artinya selamat datang. Jadi judul tulisan ini ya… Selamat Datang Natalan (?). Izinkan saya yang merupakan seorang ateis online ini sekali ini saja berlagak seperti seorang murid sekolah pendeta. Jadi mari kita bedah judulnya.

Selamat datang. Demikian bunyinya. Terlepas dari kepercayaan apa yang teman-teman anut, saya berani jamin teman-teman dengan terbuka menyambut hari raya Natal — minimal untuk bercinta dengan suasana liburan yang ditawarkan. Tapi tidak seru kan kalau tidak mengarahkan tembakan ke umat Nasrani di tulisan tentang Natal. Jadi untuk umat Nasrani sendiri, yang ditunggu di Natalan apa? Apakah sama dengan yang tidak merayakan? Atau bahkan tidak menunggu apapun apalagi berusaha menyambut? Menyambut pun menyambut apa?…

Natalan yang sebenarnya hanya kata Natal yang saya bumbui akhiran -an agar supaya berima (ya, saya menulis “agar supaya” agar supaya redundan saja). Funfact bagi yang belum tahu, jadi hari Natal dalam kepercayaan Nasrani adalah hari kelahiran Yesus (alias Nabi Isa kalau di salah satu server lain). Sengaja saya hindari penggunaan kata “raya” di antara kata “hari” dan “Natal”. Kata raya di konteks ini berarti besar, jadi utuhnya hari besar. Tapi saya sendiri tidak pernah menganggap Natal sebagai hari raya. Tidak ada yang raya di kisah Natal yang tertulis di Alkitab, kok. Coba sedikit review:

Bayinya lahir di kandang domba gara-gara penginapan penuh. Itu juga posisinya bapak-ibunya sudah kelelahan dan mungkin bau keringat saking panjangnya perjalanan menuju tempat asal mereka untuk sensus. Ibunya juga hamil bukan hasil “kerja keras si bapak” tapi hasil “kehendak Bapa di Sorga.” Yang datang ke sana malah gembala yang notabene salah satu masyarakat kelas terbawah saat itu. Sekalinya ada raja yang mencari si bayi? Buat dibunuh supaya jangan sampai jadi raja sesuai yang dinubuatkan nabi-nabi terdahulu. Tapi bayinya lolos dan rajanya makin panik. Alhasil? Semua bayi laki-laki di region itu dibunuh.

Let this sink in ( source: knowyourmeme.com )

Setelah review singkat tersebut, saya rasa kita semua sudah sepakat kalau kondisi lahirnya Yesus cukup terbilang shithole.

Lalu poin apa yang sebenarnya ingin saya sampaikan? Dari tadi isinya mayoritas hujatan, hujatan kepada mayoritas serta todongan pertanyaan ke arah mayoritasnya minoritas doang padahal ini tulisan soal Natal?

Yah, kalau saya sendiri sebetulnya hanya merasa aneh dengan selebrasi yang gulugulu, hadiah ini-itu bertebaran, dll. Terutama jenis ibadah yang wuahahahay hebohnya naudzubilah terutama di segmen perayaan. Saya sendiri selalu menganggap bahwa momen Natal (terutama malam Natal, ya, konsepnya seperti malam Jumat) justru lebih nyaman untuk berkontemplasi. Merenungkan sendiri makna Natal bagi diri sendiri itu apa sebetulnya. Dan dengan tenang tentunya — hati-hati, kalau berisik nanti bayinya bangun, mewek, repot kita semua. Memang sih di kitab ditulis kalau malaikat di surga ramai merayakan, tapi ya itu jatahnya surga saja, gak usah ikut-ikutan rusuh. Toh kalau kata Nidji kan “dunia tak seindah surga”…

Iya, kata “walau” di awal kutipan Nidji sengaja saya hilangkan, biar ngeselin aja. Jadi akhir kata:

Selamat Natal bagi yang memperingati dan selamat berlibur bagi yang sekedar mengingat — oh, selamat bertugas bagi yang sibuk menyiapkan acara, yang sibuk mengamankan acara, serta yang sibuk ingin membubarkan acara.

--

--

Wisnu!
Wisnu!

Written by Wisnu!

{{ insert_pretentious_bullshit_here }}

No responses yet