Penerapan Metode Berpikir Oposisi Biner dalam Dunia Teknik

Wisnu!
5 min readJul 1, 2018

--

Makhluk apa itu? Oposisi biner?

Terminologi ini dicetuskan oleh Ferdinand de Saussure, salah seorang (dari dua) pelopor ilmu semiotika dalam bidang linguistik. Oposisi biner adalah suatu sistem yang membagi berbagai hal dalam dua kategori yang berhubungan. Contoh dari oposisi biner adalah sebagai berikut

  • gelap — terang
  • hitam — putih
  • benar — salah
  • baik — buruk
  • dan seterusnya, tidak akan habis kalau saya tulis semua

Saussure sebagai, hm…anggaplah filsuf, yang mencetuskan gagasan strukturalisme dalam semiotika linguistik ternyata tidak begitu berhasil menuangkan teori tentang oposisi biner dalam bentuk praktis. Claude Levi-Strauss adalah orang yang akhirnya mampu menyimpulkan dan membuat pemahaman akan kaidah ini praktis atau berguna.

Teori oposisi biner menyatakan bahwa pemaknaan akan suatu hal dapat dibentuk melalui kategorisasi yang memisahkan hasil akhir menjadi dua golongan. Sebut saja kedua golongan tersebut diberi nama A dan B. Sebuah struktur oposisi biner yang ideal atau sempurna akan mampu memisahkan A dan B berdasarkan keberadaan atau ketidakberadaan aspek-aspek yang menyebabkan sesuatu tergolong sebagai A atau B. Berikut adalah model matematik dalam bentuk diagram Venn dari penjelasan di atas

Diagram Venn visualisasi oposisi biner. Untuk konsistensi definisi, kita anggap A’ = B sehingga segala sesuatu yang bukan A adalah A’ yang artinya B. U adalah semesta yang menurut penjelasan pada paragraf pertama disebut “berbagai hal”. ( sumber : https://www.brainysolutions.org/Course/Section/80/fsc-part-1-mathematics-complete-solution-using-the-venn-diagramsif-necessary-find-the-single-sets-equal-to-the-following )

Perhatikan diagram tersebut. Anggap suatu hal dapat dikategorikan sebagai A jika dan hanya jika hal tersebut memenuhi beberapa persyaratan. Sebut saja kumpulan persyaratan tersebut terdiri dari tiga buah syarat yang kita beri nama Alfa, Beta dan Gamma. Dalam bahasa manusia (dalam kasus ini bahasa Indonesia) urutan kalimat yang menjadi prosedur dan filter dalam proses kategorisasi oposisi biner dapat dituliskan sebagai berikut:

  • Dalam sebuah semesta berisi “berbagai hal”, terdapat sebuah variable bernama X yang belum diketahui apakah golongannya termasuk A atau bukan A (A’) sehingga perlu dilakukan proses kategorisasi
  • X termasuk dalam golongan A jika dan hanya jika X memenuhi Alfa dan Beta dan Gamma
  • Jika salah satu saja dari ketiga syarat tersebut tidak terpenuhi (apalagi dua bahkan ketiganya), maka X termasuk dalam golongan A’
  • Definisikan A’ = B. Poin kedua akan berubah menjadi: Jika salah satu saja dari ketiga syarat tersebut tidak terpenuhi (apalagi dua atau bahkan ketiganya), maka X termasuk dalam golongan B
  • Akan diperoleh hasil yang menunjukkan golongan yang dimasuki variable X tersebut

Sedikit meramaikan, untuk teman-teman yang terbiasa melakukan pemrograman, mungkin bahasanya akan tertulis seperti berikut:

(define X = …)

if X (insert comparator) (Alfa & Beta & gamma)

X = A;

else

X = B;

end;

Apakah teman-teman pembaca sudah mengerti? Apabila sudah, saya ingin mengajak teman-teman berpikir sedikit lebih jauh: Mungkinkah proses penyaringan tetap berjalan untuk menempatkan X pada golongan A atau B apabila kita menghilangkan seluruh persyaratan (Alfa, Beta dan Gamma)? Tentu jawabannya tidak! Bagaimana mungkin kita dapat menempatkan X dalam salah satu golongan apabila tidak ada pembeda antara A dengan B, bukan? Contoh kasus dalam dunia nyata misalnya tidak mungkin kamu memisahkan kopimu dari ampasnya apabila tidak ada saringannya, bahkan apabila kamu mengangkat ampas-ampas tersebut satu persatu dengan jarimu, bukankah jarimu itu yang berfungsi sebagai saringan (walaupun tindakan ini kelewat goblok menurut saya)?

Ketidakmungkinan itu terjadi karena bahasa memiliki sebuah sifat inheren yang dikenal dengan sebutan arbitrer. Artinya, makna dari suatu kata tidak dapat dipahami tanpa kehadiran kata yang lain. Sebuah kata tidak dapat berdiri sendiri tanpa ada kata lain yang berperan sebagai pembading. Bahkan lebih jauh lagi, definisi sebuah kata saja sudah membutuhkan kehadiran banyak kata lain yang dirangkai menjadi kalimat-kalimat untuk menjelaskan kata tersebut. Walaupun sifat arbitrer ini berlaku bukan hanya dalam kasus oposisi biner (karena dunia ini ternyata penuh spektrum, tidak hitam putih baik secara harfiah maupun idiomatik…hm?), ada baiknya kita tetap berpikir sesuai koridor tulisan ini. Oleh karena itu, contoh klise yang akan saya berikan sebagai penerapan dari penjelasan tersebut adalah: kita tidak dapat memahami apa itu terang tanpa pernah mengalami gelap (atau tidak terang, apalah). Kata “terang” memiliki definisi tersendiri yang akan menjadi saringan apakah sesuatu tergolong terang atau tidak. Definisi tersebutlah yang memiliki peran sebagai syarat dalam proses kategorisasi.

Lalu apa hubungan semua itu dengan dunia teknik? Perlu teman-teman pahami bahwa dunia teknik umumnya dipernuhi persoalan yang dimodelkan secara matematis dan perlu kita pahami bersama bahwa matematika sendiri adalah sebuah bahasa. Matematika memiliki aturan (dan ketidakteraturan) tersendiri sebagai sebuah metode komunikasi. Sebagai seorang mahasiswa teknik, pola pikir oposisi biner telah berhasil membantu saya memangkas durasi berpikir dalam menyelesaikan berbagai permasalahan, terutama yang tertulis di kertas ujian (maaf, belum lulus, heh…). Dosen mekanika fluida saya di semester 4 yang lalu pernah menjelaskan strategi terbaik untuk menyelesaikan permasalahan teknik dalam ujian justru diawali dengan terlebih dahulu meletakkan pena dan berpikir dengan tangan kosong sembari mencerna soal yang ada. Kategorisasi dilakukan dengan terlebih dahulu membaca soal dan menyimpulkan golongan soal tersebut (pikirkan 5w1h soal tersebut tapi tidak perlu berlarut-larut, nanti waktunya habis). Setelah itu, carilah dalam pikiran kita metode apa yang cocok untuk menyelesaikan soal tersebut. Pemilihan metode pun didasarkan pada ketersediaan keterangan-keterangan dalam soal yang kemudian berperan sebagai filter dalam menentukan metode mana yang mungkin digunakan, berlanjut hingga efisien dan efektif dalam menjawab soal. Setelah semuanya jelas dalam pikiran, tangan kita hanya menuliskan hasil pemikiran tersebut ke lembar jawaban. Saya rasa tidak akan berbeda jauh dari segi cara berpikir saat kita hendak menyelesaikan permasalahan di dunia nyata. Kita terlebih dahulu mengeliminasi hal-hal yang tidak realistis, berlanjut ke yang tidak praktis, sampai akhirnya kita menemukan solusi (atau solusi-solusi) yang realistis dan praktis. Dalam pemrograman, rangkaian tersebut seperti serial if-else yang berujung pada hasil tertentu.

Saya harap strategi oposisi biner tersebut dapat membantu teman-teman pembaca yang saya kasihi dan hormati dalam menjalani kehidupan sebagai…manusia sepertinya, terlepas dari profesi tiap-tiap orang yang berbeda-beda. Tentu pola pikir ini perlu dilatih agar teman-teman terbiasa, sama seperti pola pikir lainnya. Berlatihlah terus sampai teman-teman dapat menerapkannya effortlessly. Niscaya teman-teman akan mampu menemukan solusi terbaik dari permasalahan yang teman-teman hadapi. Namun ingat, tetap berikan perhatian pada hasil akhir, bukan hanya pola pikirnya saja, apalagi jika menyelesaikan permasalahan di dunia nyata yang umumnya tidak seindah dan sesederhana permasalahan di lembar ujian. Seperti kata dosen propulsi saya di semester 6 dulu

“Kalau main bola kamu bilang hampir gol, berarti tidak gol, kan? Sama saja prinsipnya kalau kamu mengerjakan soal saya hampir benar, tetap tidak benar alias salah kan?”

Ya, gak salah sih, Pak. Cuma bangsat aja.

--

--

Wisnu!
Wisnu!

Written by Wisnu!

{{ insert_pretentious_bullshit_here }}

No responses yet