POSESIF : Dehumanisasi Atas Nama Cinta

Wisnu!
5 min readMar 23, 2018

--

Halo, para pembaca. Akhirnya aku menulis menggunakan bahasa Indonesia setelah beberapa kali sok-sokan menggunakan bahasa Inggris. Tapi maaf-maaf aja ya kalau gak sesuai EYD (atau apa namanya sekarang udah ganti gatau ah). Jadi beberapa hari lalu, seorang temanku merekomendasikan sebuah film produksi dalam negeri yang berjudul POSESIF. Film ini memiliki dua karakter utama yaitu Lala (Putri Marino) dan Yudis (Adipati Dolken). Bagi yang belum menonton, aku sarankan untuk menonton terlebih dahulu karena tulisan ini kutulis bagi pembaca dengan asumsi para pembaca sudah menonton film tersebut. Ini salah satu “poster” film POSESIF.

Poster film POSESIF (https://lazagainst.files.wordpress.com/2017/11/17010009_1.jpg?w=841)

Nah, setelah menonton film ini, teman-teman pembaca mungkin merasakan adanya unsur hiperbola sifat-sifat para pemeran dalam film ini, terutama kedua karakter utamanya. Tapi ya mau bagaimana lagi, namanya juga film. Kembali ke koridor yang ada di judul, menurutku sendiri ada sebuah masalah besar yang dialami Lala yaitu sifat posesif Yudis. Sebelum menggali lebih dalam, ada baiknya aku dan pembaca sama-sama menyepakati definisi “posesif” menurut acuan yang “aman”, yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

posesif/po·se·sif/ /posésif/ a bersifat merasa menjadi pemilik; mempunyai sifat cemburu: saya merasa telah menghancurkan hati X, saya sangat mencintai X, hati dan pikiran saya padanya, apakah saya terlalu — ? [sumber: https://kbbi.web.id/posesif]

Yudis menunjukkan karakter posesif yang sesuai dengan definisi yang diberikan oleh KBBI. Ia memiliki sifat cemburu yang berlebihan sebagai reaksi terhadap relasi Lala dengan teman-temannya, terutama teman laki-laki. Kecemburuan yang tak wajar ini menyebabkan Yudis melakukan hal-hal di luar akal sehat serta norma yang harusnya dipahami sebagai common sense seperti saat ia menabrak teman laki-laki Lala yang sedang mengendarai sepeda motor dan juga mengganggu kompetitor Lala saat latihan lompat indah dengan laser. Sepertinya tidak ada masalah bagi kita untuk sepenuhnya memahami definisi posesif yang kedua menurut KBBI ini karena aku yakin kita semua pernah jatuh cinta dan merasa cemburu apabila orang yang kita sukai terlihat lebih dekat dengan orang lain, terutama lawan jenis. Namun definisi posesif yang pertama menurut KBBI yaitu “bersifat merasa menjadi pemilik” sepertinya terlihat cukup mengganggu bahkan cenderung mengerikan bagiku dan juga mungkin bagi pembaca. Namun memang definisi tersebut juga diperlihatkan oleh karakter Yudis melalui berbagai tindakan dan ucapannya kepada Lala.

“Bagaimana mungkin? Yudis hanya salah menggunakan metode dalam mengomunikasikan rasa cintanya pada Lala. Kalau kamu memang manusia harusnya kamu ikut sedih!” Sayangnya justru karena aku juga manusia aku tidak sedih. Aku tidak sedih karena posesif adalah posesif, bukan cinta. Kenapa aku bisa berkata demikian? Mari kita lihat kembali definisi pertama posesif menurut KBBI. Terdapat kata “pemilik” pada definisi tersebut. Apa definisi pemilik menurut KBBI?

milik/mi·lik/ n 1 kepunyaan; hak; 2 peruntungan; nasib baik: dasar — , barangnya yang hilang akhirnya ditemukan lagi;

pemilik/pe·mi·lik/ n yang memiliki; yang empunya: dialah yang menjadi — kebun itu; [sumber: https://kbbi.web.id/milik]

Apabila teman-teman pembaca memerhatikan dengan seksama, kata “milik” dan “pemilik” selalu menggambarkan hubungan antara suatu entitas/otoritas yang aktif, lebih tinggi harkat dan derajatnya dengan sesuatu yang dianggap pasif, lebih rendah harkat dan derajatnya. Sederhananya, kata “pemilik” selalu dapat digunakan dengan format: “Subjek” adalah pemilik “objek”.

“Bukankah romantis saat seorang laki-laki menyatakan bahwa seorang perempuan adalah miliknya? Bukankah itu bentuk ikatan dari perasaan sayang? Cobalah lebih romantis, santai dong, anggap aja konotasi!” Tidak ada yang romantis dari rasa kepemilikan seorang manusia terhadap manusia lainnya. Kamu tahu aktivitas apa lagi yang menyatakan kepemilikan seseorang terhadap yang lain? Jika kamu berpikir “perbudakan”, kamu benar. Dalam film ini, Lala hanya menjadi “budak ‘cinta’” (kata “cinta” kuberi tanda petik lagi karena sebenarnya tindakan Yudis bukan bentuk cinta yang..ehm..manusiawi menurutku). Di mana ada budak, di sana ada tuan. Apabila teman-teman pembaca memerhatikan kata-kata Yudis pada Lala sepanjang film, teman-teman seharusnya merasakan usaha-usaha Yudis menjadi “tuan” bagi Lala, seorang yang mengklaim memiliki “kuasa” untuk melindungi, menemani, bahkan mendikte masa depan lala. Semua atas nama cinta.

Setelah penjelasan di atas, aku ingin menyatukan seluruhnya dengan kata yang terkesan cukup jahat pada judul, yaitu “dehumanisasi”. Mungkin beberapa pembaca berpikir bisa-bisanya aku mengaitkan film bernuansa cinta ini dengan kata tersebut. Tapi mari dengan kembali mengacu kepada KBBI, kita sepakati definisi “dehumanisasi” adalah sebagai berikut.

dehumanisasi/de·hu·ma·ni·sa·si/ /déhumanisasi/ n penghilangan harkat manusia [sumber: https://kbbi.web.id/dehumanisasi]

Lihat kembali definisi “posesif” dan “pemilik”, apabila dikembalikan ke kedua karakter utama dalam film, Yudis secara tersirat telah melihat Lala sebagai objek yang dimilikinya. Dengan mengacu pada definisi kedua kata tersebut digabungkan dengan pemahaman “dehumanisasi” serta berasumsi Yudis sebagai acuan sebagai manusia (human), Lala telah berada di posisi less than human relatif terhadap Yudis. Hak-hak Lala sebagai manusia telah direnggut Yudis atas nama cinta. Tindakan pengurangan harkat tersebut memang tidak eksplisit namun tersirat dalam berbagai kelakuan Yudis seperti selalu mengawasi Lala, secara tidak sopan melihat-lihat isi pesan dalam ponsel Lala, berani-beraninya meminta Lala mengubah tujuan kuliahnya, dan lain-lain. Singkatnya, kita semua melihat kebebasan Lala sebagai seorang manusia perlahan-lahan direnggut oleh Yudis.

“Tapi kan Yudis begitu gara-gara didikan ibunya di rumah. Dia korban!” Nah teman-teman pembaca, inilah pesan hasil perenungan pribadi yang ingin aku sampaikan bagi teman-teman terutama yang berumur kurang-lebih 17 tahun seperti kedua tokoh utama film POSESIF. Umur 17 tahun bukan lagi umur yang dianggap anak-anak. Apabila kamu berusia 17 tahun, hampir dapat dipastikan kamu sudah bertemu dengan banyak orang, banyak contoh lain yang baik dalam hidup. Bukan lagi waktunya kamu menyalahkan kesalahan didikan keluargamu sebagai alasan ketidakmampuanmu menelaah dan memperbaiki dirimu sendiri. Pun kamu belum menemukan contoh yang baik, kamu selalu bisa membayangkan oposisi dari contoh-contoh buruk yang kamu temui. Setelah membaca ulasan hasil kontemplasiku ini, aku berharap teman-teman pembaca terdorong untuk berpikir setidaknya setelah usia beranjak 17 tahun, kita sebagai manusia sudah memiliki “kuasa” untuk memilih ingin menjadi orang cerdas atau bodoh, baik atau jahat, dan lain-lain. Beranilah untuk bertanya pada diri sendiri, beranilah untuk menerima kemungkinan terburuk bahwa apa yang teman-teman pembaca yakini dan alami sebagai suatu “kebenaran” ataupun “kebaikan” bisa saja ternyata merupakan “kesalahan” atau “keburukan”.

Oh iya, sedikit tambahan. Kalau mau pacaran perbaiki komunikasi, jangan sampai penuh salah paham. Cinta itu rumit, banyak “dialek”nya, dan susah dipahami, apalagi buatku yang bukan orang yang betul-betul peduli dan mau mengerti makhluk apa itu (walaupun aku pernah juga kok jatuh cinta). Kasihan anak orang jadi repot cuma gara-gara kamu yang tolol. “Situ yang bego kok sini yang dibikin puyeng” (maafkan hamba, nasihat ini datang dariku sebagai orang yang belum pernah pacaran, cuma modal bacot dan..ehm..common sense). Dan terakhir ini adalah pertanyaanku buat orang-orang yang posesif: Segitu payahnya kah kamu sampai kamu gak bisa cinta sama makhluk yang sama derajatnya dengan kamu dan bisa melawan kamu? Sampai-sampai kamu harus menghilangkan harkat si “cinta”mu itu dengan tindakan posesifmu?

--

--

Wisnu!
Wisnu!

Written by Wisnu!

{{ insert_pretentious_bullshit_here }}

No responses yet