“Praktis-Pragmatis”

Wisnu!
6 min readJun 12, 2018

--

[Peringatan: Tulisan ini akan sangat subjektif, berantakan, seberantakan omongan, pikiran, tindakan, dan hidup saya karena ini memang sedikit cerita tentang saya saat ini]

Sebelum saya melanjutkan penjelasan mengenai slogan tersebut, izinkan saya memperkenalkan diri sekali lagi dengan sedikit lebih detil. Perkenalkan nama saya Wisnu, saat ini seorang mahasiswa semester 8 menuju 9 program studi teknik dirgantara Institut Teknologi Bandung dan akan berumur 22 tahun pada tahun 2018 ini. Akun media sosial “LINE” saya diberi sentuhan personal yang saya bawa hingga ke akun Medium saya ini untuk membedakan saya dari entah berapa banyak Wisnu lain yang ada di bumi: sebuah tanda seru di belakang nama saya (ada sejarahnya tapi itu cerita bodoh lain lagi, maaf). Cukup demikian perkenalan yang saya rasa dibutuhkan untuk membahas slogan yang menjadi judul tulisan ini. Beberapa poin penting dari perkenalan saya yang harus digarisbawahi dan diingat selanjutnya adalah:

  • mahasiswa semester 8 menuju 9
  • akan berumur 22 tahun
  • mahasiswa program studi teknik dirgantara

Berikutnya, definisi kata “praktis” dan “pragmatis” harus terlebih dahulu disepakati juga sebelum membahas lebih lanjut tentang slogan yang tertera pada judul tulisan ini. Menurut KBBI:

  • praktis/prak·tis/ a 1 berdasarkan praktik; 2 mudah dan senang memakainya (menjalankan dan sebagainya)
  • pragmatis/prag·ma·tis/ a 1 bersifat praktis dan berguna bagi umum; bersifat mengutamakan segi kepraktisan dan kegunaan (kemanfaatan); mengenai atau bersangkutan dengan nilai-nilai praktis; 2 mengenai atau bersangkutan dengan pragmatisme

Setelah menyepakati definisi kedua kata di atas, saya rasa aman untuk melanjutkan pembahasan. Teman-teman diharapkan dapat merasakan “praktis-pragmatis”-nya saya melalui tulisan ini secara implisit dari gaya “bicara” saya karena saya sedang malas menjabarkan dan mengelaborasikan segala sesuatunya secara eksplisit kali ini, yang penting teman-teman pembaca bisa sedikit-banyak mengerti (tidak apa-apa kalau sedikit, bagus kalau banyak, hm). Tulisan ini sedikit mengungkapkan satu dari sekian banyak perubahan pemikiran yang saya alami. Perubahan yang saya alami ini bukan hasil dari sebuah kejadian yang terdengar “wah” atau apa, sebenarnya situasi yang menjadi latar belakang lahirnya gagasan mengenai tulisan ini sangat sederhana: saya meninggalkan semester 7 dan mulai memasuki semester 8 perkuliahan saya.

Selama 7 semester berkuliah di kampus yang sudah saya sebut namanya tersebut, saya sudah mengalami berbagai hal yang terjadi di dalamnya yang kemudian saya selalu coba ambil hikmahnya sebagai simulasi kehidupan sebenarnya setelah lulus nanti. Mulai dari TPB yang lempeng-lempeng saja dan nyaris bebas dari kesibukan apapun, tingkat 2 yang terasa seperti pembakaran semangat kemahasiswaan diiringi pengenalan tools yang dibutuhkan dalam keprofesian saya, tingkat 3 yang dipenuhi pengabdian dan ujian akan implementasi semangat kemahasiswaan tersebut dibarengi pengenalan akan keahlian sebenarnya pada jurusan atau keprofesian saya, serta tingkat 4 yang sedikit banyak membuat saya kembali berpikir akan seluruh hal yang sudah saya alami dari TPB hingga tingkat 4 itu sendiri, baik dari segi kemahasiswaan maupun keprofesian.

Mungkin teman-teman yang sekampus dengan saya yang lebih muda sedang merasakan hal-hal yang saya sudah alami sebelumnya. Kalau mengutip Tan Malaka, mungkin kalian sedang merasakan gelora “kemewahan terakhir yang dimiliki oleh pemuda”. Saya tidak akan mengganggu kenikmatan yang teman-teman alami dari segi (kemungkinan besar) kemahasiswaan itu, itu urusan kalian masing-masing. Hanya saja izinkan saya sedikit menyentil idealisme di bidang keprofesian. Saya gunakan kata “keprofesian” di sini karena kata “akademik” menurut saya pribadi terlalu…sempit, hm? Sebuah post di media sosial “LINE” mempertanyakan kegunaan kita mempelajari sains dan teknologi serta berinovasi apabila tidak membawa kita lebih mencintai sekitar. Saya ingat betul respon saya dalam hati berbunyi, ”Ya buat sekedar cari duit buat makan, lah.” (mungkin beberapa teman saya bahkan bisa membayangkan bagaimana body language dan aksen bicara saya apabila kalimat ini benar-benar terucap dari mulut saya, heh) Namun kalimat Tan Malaka tadi kembali berdengung di dalam benak saya sehingga sempat saya bertanya kepada diri saya sendiri,”Apakah saya sudah kehilangan idealisme? Atau realita sudah bergeser menjadi kondisi ideal dalam idealisme saya? Singkatnya, apakah realisme adalah idealisme saya yang baru? Heh, bahkan apa yang ideal saja saya tidak pernah benar-benar tahu kecuali dari angka-angka yang dihasilkan didahului berbagai macam asumsi yang digunakan dalam perkuliahan, bukan?”

Banyak obrolan saya sebagai seorang mahasiswa tingkat akhir dengan orang-orang yang sudah terlebih dahulu melepas status mahasiswa S1-nya (dan somehow masih terjebak di ruangan teknisi hangar jurusan saya), entah obrolan itu mengenai dunia kerja yang dialami secara umum, dunia kerja kedirgantaraan secara spesifik baik di Indonesia maupun di luar negeri, atau bahkan mengenai kemungkinan melanjutkan pendidikan ke tahap yang berikutnya yaitu magister, yang mulai menjadi pertimbangan saya untuk tidak lagi terlalu terpaku pada sebuah idealisme tertentu. Contoh nyatanya adalah saya yang dahulu menggebu-gebu untuk lulus 8 semester sekarang mulai “takut lulus” dan sedikit “membeli waktu seharga UKT 0 sks semester 9”. Idealisme bisa berubah, dan itulah realitanya. Demikian jelas realita tersebut berbicara sehingga terbentuk sebuah mindset di benak saya bahwa sebagai seorang engineer, solusi yang ideal adalah solusi yang realistis dan praktikal…untuk semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian masalah tersebut, termasuk sang engineer. Saya tidak tahu apakah teman-teman setuju dengan pernyataan saya barusan. Heh, saya tidak perlu tahu juga, bukan, hm? Cukup teman-teman renungi saja dan jawab sendiri-sendiri, bagus kalau dibuat tulisan juga seperti ini agar pandangan teman-teman tersampaikan juga. Kembali ke mindset yang saya sampaikan tadi mengenai solusi ideal versi saya yang ter-update. Saya rasa tidak sulit bagi teman-teman untuk memahami bagian “solusi yang ideal adalah solusi yang realistis dan praktikal” karena apa guna semua formulasi masalah dalam domain matematik serta tetek-bengeknya apabila pada akhirnya angka yang dikeluarkan dari perhitungan-perhitungan ajaib yang dilakukan menghasilkan solusi dengan interpretasi ke domain fisik yang absurd dan impractical, hm? Atau contohnya dalam kasus saya saat semester 7 mengerjakan Desain Pesawat Udara bersama teman-teman saya tercetus celetukan,”Bisa sih terbang tapi pintunya pas di bawah baling-baling, kejedot dong penumpang? Ya kan? Iya!” Segmen kedua dari pernyataan saya adalah penekanan yang ingin saya sajikan sebagai hal baru bagi teman-teman pembaca, yaitu “untuk semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian masalah tersebut, termasuk sang engineer”. Maksud saya adalah orang yang menuntut masalahnya diselesaikan tentu harus mendapat solusi dari engineer yang bertanggungjawab menyelesaikan masalah tersebut, dan solusi tersebut harus applicable seperti yang sudah ditekankan sebelumnya. Namun seringkali seorang engineer baru (yang baru dapat gelar S.T. misal) lupa bahwa ia juga harus mendapatkan sesuatu dari jasanya menyelesaikan permasalahan yang diajukan kepadanya, minimal uang yang sepadan dengan jasanya. Toh, memang uang bukan segalanya tapi segalanya butuh uang, hm? Ya, ya, saya tahu terdapat juga kebutuhan di atas sekedar fisik yang dapat dan/atau harus dipenuhi seperti aktualisasi diri, pengakuan, dll tapi coba pikirkan pernyataan saya yang telah turut berkontribusi menghabiskan jatah oksigen bumi selama hampir genap 22 tahun berikut ini baik-baik: Untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri, kamu butuh berpikir dan bertindak. Untuk berpikir dan bertindak, kamu butuh tenaga. Untuk mendapat tenaga kamu butuh makan, dan jelas untuk makan kamu butuh…duit. Hehe. Maaf terkesan memaksa ujung-ujungnya duit tapi ya demikian adanya mau jalur manapun yang kamu ambil.

Oleh karena serentetan penjelasan di atas, maka saya dengan seluruh kebanggaan dan rasa malu saya saat ini mengakui dan menyimpulkan bahwa slogan “Praktis-Pragmatis” adalah motto hidup saya saat ini dikarenakan pengaruh realita (terutama terkait uang) yang kemudian menggeser idealisme saya ke kiri dan ke kanan, ke depan dan ke belakang, ke atas dan ke bawah, entah apapun maksudnya. Toh juga dari segi linguistik, terutama semantika, kedua kata tersebut berima dan cathcy menurut saya pribadi. Persetan juga kalau teman-teman pembaca yang saya hormati dan kasihi menganggap selera sastra saya buruk hanya gara-gara slogan ini.

Oh dan terakhir, kenapa saya menggarisbawahi status saya sebagai mahasiswa teknik dirgantara di awal tulisan? Sebenarnya hanya agar-supaya saya bisa berbagi sepotong ilmu kedirgantaraan dengan teman-teman sekalian dengan pendekatan praktis-pragmatis tadi melalui percakapan nirfaedah dengan teman sejurusan saya, yang sekarang juga mahasiswa tingkat akhir seperti saya, seperti yang tertera di bawah ini (saya masih tidak habis pikir kalau percakapan ini benar-benar pernah terjadi dan saya tidak bisa lupa). Kalau ada orang awam bertanya ke kamu,

“Kenapa pesawat bisa terbang?”

jawab saja,

“Ya, karena bayar. Kalau gak bayar mana ada ceritanya terbang itu pesawat”

…hm?

--

--

Wisnu!
Wisnu!

Written by Wisnu!

{{ insert_pretentious_bullshit_here }}

No responses yet