Trilogi Orde Baik, Pt. 1: Apapun Masalahnya, Penjara Solusinya!

Wisnu!
7 min readSep 22, 2019

--

Belakangan ini kita semua diresahkan oleh beberapa masalah skala nasional yang sepertinya berakar dari konflik kepentingan di kalangan pemegang kebijakan alias pemerintahan. Sebutlah kebakaran (atau pembakaran, hehe) hutan, konflik masyarakat pasca pemilu, RKUHP, KPK diperlemah, dan beberapa lainnya yang mungkin tergolong lebih… hmm… minor (?) Saya sendiri mendapat informasi seputar hal-hal di atas kebanyakan dari linimasa sosmed diiringi diskusi-diskusi di lingkungan sekitar saya (kampus, tongkrongan, kost teman, dll). Setelah menyerap berbagai informasi yang ada, saya memutuskan untuk menulis serangkaian artikel ala trilogi. “Trilogi” ini saya beri judul Trilogi Orde Baik dan tiap bagian (part, disingkat pt.) membahas sebuah masalah/isu spesifik, dimulai dari tentang RKUHP yang akan saya bahas di sini, diikuti artikel tentang kebakaran hutan dan ditutup dengan tulisan tentang nasib KPK. Monggo dibaca, diresapi, dinikmati dan kalau bisa dilengkapi (atau dibantah, bebas).

Hoke! Mari berangkat dari pembahasan mengenai RKUHP. Bagi teman-teman pembaca yang belum tahu, RKUHP adalah singkatan dari Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Setelah disahkan, huruf R akan hilang dan KUHP yang paling update segera berlaku. Pidana sendiri didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Si pelanggar disebut kriminal, sebelum vonis dijatuhkan oleh pengadilan, terduga pelanggar disebut terdakwa dan setelah terbukti bersalah oleh pengadilan akan disebut terpidana. Kenapa pendefinisian ini menjadi penting bagi kita semua? Karena dari beberapa mulut yang saya dengar, hidup dengan status pernah menyandang gelar terpidana atau narapidana (napi) tidak mudah — kecuali mayoritas masyarakat pernah jadi napi (yep, social judgment is a whore indeed).

PERTAMA, saya akan berangkat mulai dari masalah yang menurut saya paling klasik: pasal karet. Istilah ini digunakan untuk pasal yang bersifat ambigu atau multitafsir. Bahaya dari pasal karet adalah ambiguitas yang ada memungkinkan seseorang atau suatu lembaga menggunakan pasal tersebut untuk merekayasa situasi sedemikian rupa dengan modal bersilat lidah dan disertai subjektivitas yang dapat dilogikakan. Kasarnya, yang akan terjadi bukan proses mencari kebenaran namun pembenaran. Lima pasal yang memiliki karakteristik ini adalah Pasal 167 RKUHP draft 28 Agustus 2019 soal pengaturan makar, Pasal 218–219 RKUHP, soal penghinaan presiden, Pasal 240–241 RKUHP soal penghinaan pemerintah yang sah, Pasal 353–354 RKUHP soal penghinaan Kekuasaan Umum/ Lembaga Negara serta Pasal 188 soal penyebaran ajaran Komunisme atau Marxisme — Leninisme.

Kita mulai dari mengenai makar. Makar seharusnya hanya mengatur hal yang terbukti bersifat menyerang, bukan terduga bersifat menyerang. Pasal 191 menyatakan, “Setiap orang yang melakukan makar dengan maksud membunuh atau merampas kemerdekaan presiden atau wakil presiden atau menjadikan presiden atau wakil presiden tidak mampu menjalankan pemerintahan dipidana dengan pidana mati, pidana seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 tahun.” Saya highlight bagian “ …menjadikan presiden atau wakil presiden tidak mampu menjalankan pemerintahan…” Coba kita pikir bersama: apa jaminan untuk kita semua kalau andai suatu saat pemerintahan gagal, tidak terjadi pencarian kambing hitam oleh pihak pemerintahan? Belum lagi parameter tidak mampu menjalankan pemerintahan itu seperti apa — apakah secara fisik atau kegagalan program kerja. Kata sambung yang digunakan juga “atau” sehingga salah satu saja terpenuhi, pasal makar dapat digunakan. Jadi ketika presiden keracunan makanan di warung dan harus absen kantor seminggu, ya… si pemilik warung secara definisi sudah makar. Terus penjara deh. Hahay.

Lanjut soal pembahasan mengenai pasal-pasal penghinaan. Di sinilah ketakutan saya akan hadirnya subjektivitas dalam hukum yang sebelumnya saya sebut menjadi nyata. Standar merasa terhina tiap orang berbeda. Saya sendiri sudah cenderung kebal misalnya jika dicap “buruk dalam mencari pasangan”. Pun ketika ada yang bertanya “Nu, lu goblok ya kalau cari cewek?” ya saya tinggal jawab ya atau tidak — dalam kasus ini jawabannya “ya”. Nah mari kembali ke pemerintah dan instansi-instansinya yang dilindungi oleh pasal-pasal di atas. Sesuatu dapat disebut penghinaan jika menyerang nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu dan supaya diketahui umum. Sekarang mari kita sedikit menengok ke lorong filsafat ilmu. Salah satu kaidah kebenaran yang saya pernah baca adalah sesuatu dapat dianggap benar sampai terbukti salah atau sebaliknya sesuatu dapat dianggap salah sampau terbukti benar. Masalah preferensi mazhab mana yang teman-teman pembaca suka, bebas. Harusnya hasil akhirnya sama — menemukan benar/salahnya sesuatu. Cara kerjanya dimulai dari hipotesis (didasari sebanyak mungkin argumen pendukung tentunya) dan diikuti proses pengujian hipotesis yang ada oleh sebanyak mungkin kasus sampai hasil yang berbicara (in a nutshell). Nah yang jadi masalah adalah bahkan dalam KBBI pun tidak ditetapkan jenis klausa yang disebut penghinaan adalah klausa yang berupa pernyataan atau pertanyaan. Jadi misal teman-teman bertanya pada presiden di sebuah forum “Pak, kebakaran hutan yang terjadi gagal bapak tindak kah?” — ya technically bisa dianggap menghina kalau presiden menganggap itu merendahkan dirinya alias menyerang nama baik.

Dan yang terakhir untuk pasal karet adalah tentang penyebaran ajaran Komunisme atau Marxisme — Leninisme. Dalam pasal tersebut disebutkan, setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme atau Marxisme-Leninisme di muka umum dengan lisan atau tulisan, termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apapun dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Saya yang kebetulan seorang akademisi saat ini tentu merasa pasal ini bajingan karena menyebarkan dengan tujuan mendidik pun (for the sake of knowledge gitu) dapat dipidana juga berarti, bukan? Kan pasal ini tidak peduli tujuan penyebaran ajarannya, pokoknya ketahuan menyebarkan, hukum. Hm.

KEDUA, hal yang seharusnya hanya dilakukan negara dengan paham Komunis/Sosialis yaitu pengaturan kebijakan yang menyentuh ranah privat. Dua pasal yang saya highlight kebetulan mengatur seputar selangkangan (ya, tidak urus soal teknologi, tidak urus soal pendidikan, urus apa dong? Ya selangkangan saja — paling sama agama). Pasal-pasal tersebut adalah Pasal 417 ayat (1) tentang kriminalisasi persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan di luar perkawinan serta Pasal 470 s.d 472 RKUHP draft 28 Agustus 2019 tentang Kriminalisasi setiap perempuan yang melakukan pengguguran.

Mari berangkat dari yang pertama disebut yaitu tentang kentu di luar nikah (atau perkawinan, padahal kawin definisi ilmiahnya bikin anak — ya terserah lah). Saya… disappointed but not surprised kalau rangkaian kebijakan ini terealisasi. Paling biang keroknya kaum-kaum itu lagi yang mereka kira seisi bumi ini isinya seperti mereka — kalaupun ternyata beda harus dibuat sama seperti mereka, terus saya dicap liberal ateis komunis kafir. Raurus. Toh kebetulan 3 dari 4 yang dituduhkan benar jadi ya… hehe. Cuma begini, apa sih gunanya mengatur hubungan badan orang lain? Kenapa undang-undang jadi bersifat prosedural seperti ini? Bukankah seharusnya undang-undang adalah serangkaian ketetapan yang berlaku sebagai guideline? Pasal ini menganggap manusia sebagai aset negara yang bisa diatur sampai ke jeroan-jeroannya — manusia dianggap bagian dari sistem yang bersifat pasif atau benda mati bahkan. Kalau mau membuat kebijakan mengenai hubungan badan, seharusnya lebih difokuskan ke aspek manajemen. Misalnya larangan berhubungan badan di tempat umum atau mengganggu ketertiban umum atau tindakan berhubungan badan yang tidak bersifat konsensual terancam hukuman blah blah blah (nanti tumpang tindih dengan perihal kekerasan seksual) — atau yang paling penting misal dilarang menyebarkan dokumentasi hubungan intim (nanti tumpang tindih dengan perihal pornografi)… tapi paham lah ya poinnya? Kalau orang-orang itu masih kekeuh juga mengatur ranah privat begitu, pakai senjata mereka sendiri saja — tuduh saja mereka komunis. HAHAY.

Lanjut mengenai aborsi. Pasal ini sebagaimana mungkin telah banyak teman-teman sadari berpotensi memberatkan kaum perempuan sebagai individu yang diberi tanggung jawab oleh alam semesta untuk mengandung dan melahirkan anak yang merupakan hasil hubungan seksual antara dirinya dengan seorang laki-laki. Masalahnya, pasal ini tidak membedakan antara anak hasil hubungan konsensual dengan anak hasil hubungan yang dipaksakan alias pemerkosaan. Saya sendiri tidak paham apakah pihak yang membuat kebijakan tersebut tidak melibatkan ahli psikologi atau bagaimana — spesifik ahli psikologi perempuan dan anak-anak. Singkat saja mungkin karena saya anggap semua pembaca di sini sudah paham benang kusutnya soal aborsi ini, saya langsung lompat ke pertanyaan yang agak filosofis untuk kita semua renungkan: apakah si anak pernah minta dilahirkan? Ketika anak itu lahir, apakah lingkungannya siap menerima “titipan Tuhan” itu? (sok-sok bawa Tuhan aja dulu saya biar teman-teman pembaca yang religius juga bisa relate). Bagi si perempuan? Coba bayangkan: udah digenjot paksa, dipenjara lagi, apes!

TERAKHIR (untuk tulisan ini), adalah pasal yang satu ini, yaitu Pasal 414–415 RKUHP draft 28 Agustus 2019 soal mempertunjukkan alat pencegah kehamilan. Adapun pasal 481 dalam draf RKUHP berbunyi:
Setiap orang yang tanpa hak dan tanpa diminta secara terang-terangan mempertunjukkan suatu alat untuk mencegah kehamilan, menawarkan, menyiarakan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan tersebut , dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori 1. Tidak peduli alasan penunjukan. Kenapa aneh? Karena pemerintah punya program yang bertujuan mengendalikan jumlah penduduk — yaitu KB, tapi di saat masyarakat sudah tahu cara terbaik membantu pemerintah, pemerintah malah minta melawan… hukum alam. Hubungan yang tidak menggunakan alat pencegah kehamilan akan berujung… ya, kehamilan (sebagian sih, kalau crot-nya di perut atau mulut ya tidak akan hamil). Saya pernah membaca juga (lupa di mana) bahwa rencananya hanya pihak pemerintahan yang boleh menunjukkan dan/atau mempromosikan alat pencegah kehamilan. Mau monopoli selangkangan juga? Listrik sama percetakan uang aja belum cukup? Ok kalau misalnya soal angka kelahiran pemerintah tidak ambil pusing. Tahukan teman-teman pembaca apa yang seharusnya dipusingkan pemerintah jika RUU ini tembus?

HIV

Ya, angka penderita HIV akan naik karena larangan mempertunjukkan alat pencegah kehamilan ke khalayak umum mengurangi akses informasi beberapa kalangan masyarakat mengenai hubungan intim yang aman dan pengetahuan tentang alat kontrasepsi itu sendiri. Saya menduga stigma HIV masih melekat pada kaum homoseksual saja — maklum, banyak orang goblok sok tahu. Padahal kalau teman-teman pembaca mencari statistik penyebab HIV, kontributor terbesar adalah pasangan heteroseksual alias hubungan batang-liang senggama (bukan anal ya). Jadi memang alat kontrasepsi berfungsi sebagai pencegah kehamilan dan pencegah persebaran STD (Sexual Transmitted Disease), salah satunya HIV. Idiotnya, penggunaan kondom sebelumnya sudah benar didekriminalisasi oleh Jaksa Agung tahun 1978 dan BPHN tahun 1995 —sekarang malah kita mau mundur. Bayangkan masuk penjara karena… menunjukkan kondom saat kelas biologi (?)

Masih banyak poin yang kontroversial dalam RKUHP terbaru ini, tidak mungkin satu-persatu saya bahas. Sudah mulai sakit mata saya menulis padat begini. Mungkin teman-teman pembaca bisa menulis mengenai hal-hal yang belum saya cover dalam artikel ini. Apabila saya mendapat notifikasi tentang tulisan sejenis, tentu akan saya baca, biar wawasan saya tidak stagnan. Tulisan saya memang tidak terlalu fokus memberikan solusi, saya rasa bukan peran saya di situ. Saya jadi kritikus saja. Sampai bertemu di Trilogi Orde Baik, pt. 2 yang akan berisi pembahasan mengenai kebakaran hutan.

Sebagai penutup part 1 ini, mumpung palu belum diketok, izinkan saya memberikan perlawanan terakhir terhadap “Pasal 414–415 RKUHP draft 28 Agustus 2019 soal mempertunjukkan alat pencegah kehamilan” sebagai perwakilan perlawanan saya terhadap keseluruhan poin-poin RKUHP yang sudah saya jabarkan.

Makan nih gambar kondom

Kondom (sumber : mbah Google yang .co.uk)

Sumber:

Kompas, Tribun, Twitter, Google, capek saya nulisnya punten

--

--

Wisnu!
Wisnu!

Written by Wisnu!

{{ insert_pretentious_bullshit_here }}

No responses yet