Trilogi Orde Baik, Pt. 2: Cat Merah, Cat Kuning dan Kanvas Hijau
Saya tidak kongtai (omdo alias omong doang dalam bahasa Hokkien), oleh karena itu saya tulis pt.2 ini. Sebelum masuk ke tulisan tentang pembakaran dan kebakaran hutan ini — kedepannya akan disebut Karhutla — saya ingin mengucapkan selamat beraksi untuk teman-teman yang beraksi alias demo. Saya malas demo — dua jenis demo yang saya ikuti cuma demo masak karena enak dan demo alat musik terutama pedal gitar. Saya juga sedang menghindari baku hantam (atau potensi baku hantam) dalam aksi demonstrasi. Nanti keasyikan. “Dikasarin seneng” — Arya, 2019
Mending saya menulis terus masuk bui daripada sudah baku hantam, bonyok, masuk bui lagi
Kembali ke topik mengenai Karhutla. Akhir-akhir ini linimasa sosmed nasional juga dihebohkan dengan konten-konten terkait kebakaran hutan/lahan yang terjadi di Riau dan Kalimantan. Foto-foto dan video yang menunjukkan kondisi asap di kedua wilayah tersebut — terutama Riau — juga sudah banyak. Teman-teman pembaca dapat mencari sendiri di internet. Daerah seperti Jambi juga terkena dampaknya. Berikut foto favorit saya yang menunjukkan langit merah Jambi.
Saat melihat foto tersebut saya merasa sedang melihat foto permukaan sebuah planet yang saya tidak merasa begitu kenal. Memang objek-objek yang ada di foto adalah objek-objek yang umum di bumi — rumah, jalan, pohon — namun warna merah yang ada membuat foto ini bak foto permukaan planet Mars di siang bolong (ya, langit siang bolong di Mars merah seperti ini, langit senja Mars malah berwarna biru, saya pernah menulis tentang ini juga).
Saya rasa kita semua di sini sudah sepakat jika Karhutla memberikan dampak buruk bagi seluruh kehidupan di daerah yang menerima dampaknya — termasuk manusia. Beberapa artikel yang saya baca menyampaikan mengenai kenaikan penderita infeksi saluran pernafasan, penurunan spesies tertentu dengan laju cepat, dan gangguan penglihatan khususnya untuk kepentingan transportasi udara (karena saya mau songong soal saya orang aero hehe). Sepertinya peran Karhutla terhadap masalah infeksi saluran pernafasan dan mass extinction tidak perlu dibahas lebih lanjut, sudah cerita klasik alam dari entah zaman kapan. Yang akan saya bahas sedikit lebih jauh paling gangguan visibility untuk penerbangan sipil karena mungkin ini yang merupakan makanan baru bagi teman-teman pembaca.
Industri penerbangan adalah industri dengan marginal profit atau keuntungan yang kasarnya tipis. Tiap kebijakan yang dirancang airline sudah diperhitungkan dengan detil agar memberikan hasil terbaik dari keuntungan yang tipis tersebut. Pilihan rute termasuk salah satunya. Airspace atau ruang udara Riau seingat saya merupakan salah satu ruang udara yang cukup vital bagi Indonesia, Malaysia dan Singapura. Traffic di daerah sana merupakan salah satu yang ramai sehingga dalam kondisi normalnya pun seluruh personel yang terlibat — baik pihak darat maupun udara — harus bekerja ekstra untuk memastikan seluruh kegiatan transportasi udara berjalan lancar. Untuk pesawat transport sipil yang sedang cruise atau terbang jelajah di ketinggian 30,000 ft mungkin tidak terlalu masalah walaupun mungkin juga ada gangguan. Untuk yang terbang rendah? Lain cerita.
Fase paling berbahaya dalam operasi pesawat adalah take-off dan landing. Kasarnya, dalam dua fase inilah kecelakaan atau insiden paling banyak terjadi. Secanggih apapun sistem komunikasi dan navigasi yang ada, pendekatan visual yang dilakukan oleh baik pilot/kopilot maupun ATC masih tidak bisa dibuang total. Apabila kondisi visual kurang mendukung, pihak bandara dan airline pasti akan berusaha mempertahankan safety dari transportasi udara yang akan dilakukan — prosedur take-off dan landing yang digunakan akan berbeda dari pendekatan visual yang standar. Namun saya rasa kita semua sepakat kondisi udara di Riau bukan lagi berdampak pada sekadar pengurangan jarak pandang — visibility di sana sudah… bapuk. Bisa dianggap nihil. Ada artikel yang menyebutkan jarak pandang warga di sana sudah tinggal 1–2 meter. Itu yang di darat, udara panas dan asap bergerak ke atas. Sudah terbayang bukan betapa bahayanya asap Karhutla bagi transportasi udara di sana? Itu baru jarak pandang, belum lagi pengaruh asap terhadap engine pesawat tapi tidak usah saya bahas, nanti teknis dan panjang lagi.
Ketiadaan jarak pandang yang memadai ini memaksa kegiatan transportasi udara menerapkan perubahan rute. Dampaknya? Pihak-pihak terlibat harus menerima beban kerja tambahan alias lembur untuk menyusun ulang kegiatan operasi penerbangan di tingkat regional tersebut. Lembur berarti upah tambahan bukan? Pemerintah, bandara dan airline harus menrogoh kocek lebih untuk menjamin keamanan transportasi udara. Bandara yang terkena dampak Karhutla? Ya ditutup dan hilang keuntungan — yang bukan hanya 1000–2000 perak.
Karena akses transportasi ke Riau mati, potensi keuntungan ekonomi dan bisnis yang diterima pun ikut mati. Bagaimana mau berbisnis dengan penduduk Riau jika menuju ke/keluar dari Riau saja tidak bisa? Minimal transaksi yang bersifat offline mati total. Kerugian dialami baik oleh ekosistem bisnis di Riau maupun ekosistem bisnis di luar Riau yang berurusan dengan ekosistem bisnis di Riau.
Pemerintah juga harus merelakan sebagian anggaran untuk menyelamatkan apapun yang bisa diselamatkan dari dampak Karhutla yang terjadi. Proses evakuasi oleh berbagai moda yang masih mungkin — dan tidak murah tentunya, misal helikopter, berapa sih biaya operasinya sekali terbang? — memang kewajiban pemerintah, mbok ya tapi kalau dari awal tidak ada Karhutla kan tidak perlu ada evakuasi toh? Selain evakuasi, PR pemerintah adalah memadamkan api tentunya. Bagaimana caranya? Dengan hujan buatan, dibantu oleh BMKG dan armada udara yang ada. Hujan buatan diusahakan terjadi dengan cara seeding yaitu menggunakan bahan yang memengaruhi struktur awan dengan cara menyebarkannya di udara dan memberikan hasil akhir berupa hujan artifisial (proses detilnya saya lewati, nanti pusing kepala kalian). Susah? Ya. Mahal? Jelas!
Siapa yang bertanggung jawab atas terjadinya Karhutla ini? Mungkin ada yang spontan bilang “salah Jokowi!” atau ada yang bilang ini bencana dari Tuhan, tapi investigasi pihak berwenang mengatakan kalau ini ulah beberapa pemilik modal alias beberapa PT (bisa dicari omongan bapak Kapolri kita Tito Karnavian, ada 4 PT dan 185 pelaku individual yang sudah diproses kalau tidak salah). Para pemilik modal ini rasanya ingin membuka lahan entah untuk apa (karena keterangan lebih lanjut menyatakan bukan untuk lahan sawit) namun menggunakan metode pembakaran yang berujung hilang kendali. Awalnya ingin membuka lahan seberapa saja malah membuka lahan demikian luasnya dan memusnahkan penduduk Riau… loh kok jadi dapat lahan se-Riau? Hehe. Tapi ya memang dari sisi pemilik modal itu metode dengan outcome paling optimal. Biaya paling murah, persebaran apinya dibantu alam, warga sekitar pasti angkat kaki dari lahan, yang memadamkan api pemerintah. Modalnya? Api tok.
Jadi kesimpulannya, Karhutla di Riau (dan Kalimantan juga sih sebetulnya) itu awalnya dibakar orang, lalu karena tidak bisa dikendalikan jadilah kebakaran yang sistematis, massif dan terstruktur kalau pakai istilah Pak Prabowo. Sudah tahu iklim kita terlanjur berantakan, Indonesia sekarang musimnya hanya 2: panas dan panas mampus, pemilik modal malah mainan api di hotspot (titik api, bukan wifi). Mereka yang goblok, satu negara yang repot. Oh iya ketinggalan — gubernur Riau malah “evakuasi diri” ke Thailand, entah, mungkin cari transgender untuk melepas penat, I don’t know. Yang jelas, yang harusnya jadi tanggung jawab gubernur Riau sekarang jadi tanggung jawab Jokowi — yang mungkin terlanjur sibuk dengan Jan Ethes (?) Kalau dari saya tetap harus kejar gubernur Riau. Enak aja main lepas tangan.
Dengan ditutupnya tulisan ini, saya mewakili para pemilik modal terkait mempersembahkan karya curian mahal dari internet berjudul “Cat Merah, Cat Kuning dan Kanvas Hijau”