Trilogi Orde Baik, Pt. 3: Presiden, DPR & KPK — Manifestasi Perang Logika dan Perasaan

Wisnu!
8 min readSep 25, 2019

--

Akhirnya sampai juga di segmen terakhir dari serial tulisan yang sok trilogi ini. Di tengah kesibukan saya sekarang tetap saya usahakan menyelesaikan serial ini agar (semoga) tidak kehilangan momentum. Mumpung baru kemarin mahasiswa turun ke jalan melaksanakan aksi yang katanya sih diwarnai tembak-tembakan. Mentalnya mungkin agak kejar setoran tapi ya… suka-suka saya dong, ya kan?

Jadi dua tulisan sebelumnya sudah membahas tentang RKUHP (atau RUU KUHP) dan Karhutla secara terpisah. Sesuai janji dan rancangan awal saya, tulisan terakhir ini akan membahas mengenai RUU KPK dan dampaknya bagi KPK. Sama seperti dua kasus sebelumnya, kasus ini menjadi sorotan mayor di linimasa sosmed nasional. Bagaimana tidak? Terlepas dari kenyataan (dan kepastian) bahwa KPK tidak benar-benar bersih, tidak dapat dipungkiri bahwa KPK adalah harapan terbaik Indonesia saat ini dalam berjuang memberantas korupsi. Kenapa? Karena walaupun rakyat biasa seperti kita juga ingin memberantas korupsi, KPK memiliki apa yang kita semua tidak miliki: power yang besar/signifikan secara finansial dan hukum di hadapan komponen negara yang lain. Buktinya? Mahasiswa baru demo di depan gedung DPR saja bisa ditangkap oleh aparat kalau sedikit ngegas. Lah, KPK bisa menangkap anggota dewan alias berurusan dengan mereka secara langsung.

Beberapa menit sebelum saya menulis tulisan ini, salah seorang teman saya — sebut saja Christo mantan presiden PSIK ITB— mengirimkan naskah RUU KPK kepada saya sehingga saya bisa mempelajari sumber yang tergolong primer (kalau itu bukan primer, entah apalagi yang bisa disebut primer). Apabila teman-teman pembaca ingin meminta draft tersebut, dapat hubungi saya atau Mbah Christo tadi bila kenal. Yang jelas, saya sudah dapat dan baca. Hehe.

Mari kita berangkat dari apa yang saya peroleh dari naskah tersebut. RUU KPK yang saya hanya 14 halaman dan secara umum mengandung tiga konten utama, yaitu mengenai Dewan Pengawas, Penyidik Komisi Pemberantas Korupsi serta Aturan Penanganan Kasus Korupsi.

PERTAMA, mari kita mulai dari yang seharusnya lebih tidak kontroversial, yaitu penyidik komisi pemberantas korupsi. Beberapa pasal yang membahas mengenai penyidik KPK adalah Pasal 43, Pasal 43A, Pasal 43B, Pasal 45, Pasal 45A dan Pasal 45B. Dalam Pasal 43A ayat (1) disebutkan bahwa penyidik harus:

a. berpendidikan paling rendah S1 (sarjana strata satu) atau yang setara

b. bertugas di bidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua) tahun

c. mengikuti dan lulus pendidikan di bidang penyelidikan

d. sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; dan

e. memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi.

Saya pribadi merasa persyaratan yang ada untuk menjadi penyidik sudah tepat. Teman-teman pembaca juga tidak mau KPK diisi penyidik yang tergolong tidak kompeten alias goblok dan/atau amoral bukan?

Lanjut ke Pasal 43A ayat (2) yang memberi instruksi bahwa pendidikan yang dimaksud dalam ayat (1) poin c diselenggarakan oleh pihak kepolisian yang bekerja sama dengan KPK itu sendiri. Masih normal, bukan? Selanjutnya mengenai Pasal 43A ayat (3), penyidik dapat diberhentikan dari jabatannya apabila diberhentikan sebagai aparatur sipil negara, tidak lagi bertugas di bidang teknis penegakan hukum, atau permintaan sendiri secara tertulis. Masuk akal.

BERIKUTNYA, kita akan masuk ke pembahasan mengenai aturan penanganan kasus korupsi oleh KPK. Poin-poin yang mengatur hal tersebut adalah Pasal 46, Pasal 47 dan Pasal 47A. Pasal 46 berbunyi:

(1) Dalam hal seorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penangkapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka harus berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam undang-undang yang mengatur mengenai hukum acara pidana.

(2) Pemeriksaan tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tidak mengurangi hak-hak tersangka.

Dari kedua pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam pelaksanaan penanganan tersangka, KPK tetap tidak dipaksa menjalankan prosedur yang bertentangan dengan asas-asas penegakan hukum seperti praduga tak bersalah, HAM, kaidah penegakan hukum pidana, dan lain-lain.

Lanjut ke Pasal 47. Terdapat 4 ayat dalam pasal ini yang secara garis besar membahas tindak lanjut kepada tersangka korupsi, spesifik terkait penyitaan. Penyitaan harus didasari bukti yang cukup dan dan dugaan kuat serta atas izin Dewan Pengawas. Pasal ini juga membeberkan prosedur pencatatan atau pengarsipan terkait penyitaan yang dilakukan. Semua kegiatan penyitaan oleh KPK harus memiliki dokumentasi untuk menghindari terjadinya loss dalam kasus yang dilaksanakan. Dokumentasi adalah bentuk bukti paling konkrit dalam preservasi timeline alias mengabadikan ruang dan waktu tiap event kecil proses penanganan kasus korupsi. Kasarnya, mengurangi ketergantungan manusia terhadap memori pribadi, karena sebagaimana yang kita tahu dalam ilmu psikologi, memori manusia tidak cukup reliable untuk banyak hal. Selanjutnya, Pasal 47A ayat (1) menyatakan bahwa dalam keadaan mendesak, penyitaan dapat dilakukan sebelum mendapat izin tertulis dari Dewan Pengawas. Ayat (2) menegaskan bahwa pimpinan KPK harus meminta izin tertulis dari Dewan Pengawas dalam waktu paling lama 1 x 24 jam setelah dimulainya penyitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Sebagai balance, ayat (3) juga menegaskan bahwa Dewan Pengawas wajib memberikan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) paling lama 1 x 24 jam sejak permintaan izin diajukan. Bagaimana, teman-teman pembaca? Fair enough, bukan? Terkejut sejauh ini semua yang tertulis dalam naskah masih masuk akal? Hehe.

TERAKHIR, saya rasa ini bom-nya, yaitu mengenai Dewan Pengawas. Pasal-pasal yang mengatur mengenai Dewan Pengawas adalah Pasal 37A, Pasal 37B, Pasal 37C, Pasal 37D serta Pasal 37E. Pasal 37A pasal (1) menyiratkan bahwa KPK tetap membutuhkan kehadiran pengawasan dalam melaksanakan tanggung jawabnya. Akui saja ini masuk akal, tidak usah denial. Kalau instansi tidak diawasi, apa jaminan instansi tersebut tidak melakukan penyelewengan? Pasal (2) menyatakan bahwa Dewan Pengawas adalah lembaga yang bersifat nonstruktural yang dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya bersifat mandiri. Pasal (3) menyatakan bahwa Dewan Pengawas berjumlah 5 orang dengan 1 orang sebagai ketua yang dipilih melalui rapat anggota Dewan Pengawas. Pasal (4) membatasi periode Dewan Pengawas memegang jabatan yaitu selama 4 tahun dan dapat dipilih untuk kedua kalinya untuk periode berikutnya. Pembatasan ini penting karena setiap orang dengan kuasa yang tak dibatasi akan berpotensi menjadi… Soeharto berikutnya (?)

Pasal 37B ayat (1) poin a-f menjabarkan tugas-tugas Dewan Pengawas. Ayat (2) mewajibkan Dewan Pengawas membuat laporan pelaksanaan tugas secara berkala dan ayat (3) mewajibkan laporan tersebut disampaikan kepada Presiden Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Rapi dan tidak menentang common sense, bukan?

Pasal 37C hanya menjabarkan syarat untuk seseorang dapat diangkat menjadi anggota Dewan Pengawas. Terdapat 13 poin (a-m), terlalu panjang jika saya jabarkan seluruhnya. Tapi, setelah saya baca, intinya persyaratan yang ada sama masuk akalnya dengan persyaratan menjadi anggota penyidik. Malah lebih berat persyaratan menjadi anggota Dewan Pengawas karena syaratnya lebih banyak. Dan itu wajar, mana mungkin seleksi pengawas kalah ketat daripada seleksi pihak yang diawasi?

Pasal 37D inilah yang menurut saya memulai proses development dari serangkaian fun-fact yang tidak fun. Tahukah kamu dalam ayat (1) dinyatakan bahwa Dewan Pengawas diangkat oleh Presiden Republik Indonesia, BUKAN Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia? Ayat (2) menyatakan bahwa panitia seleksi Dewan Pengawas dibentuk oleh — BUKAN Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia juga, lagi-lagi oleh Presiden Republik Indonesia. Lalu ayat (3) menyatakan bahwa ketentuan pengangkatan dan pembentukan panitia seleksi Dewan Pengawas diatur oleh — BUKAN undang-undang, tapi Peraturan Presiden. Pasal 37E membahas mengenai pemberhentian anggota Dewan Pengawas — percayalah pada saya, isinya masuk akal.

Sekarang saya ingin mengajak teman-teman pembaca berpikir:

Isi RUU tersebut masuk akal bukan (mungkin kecuali Pasal 37D)? Apakah teman-teman pembaca sadar betapa besar kewenangan presiden terkait KPK (Pasal 37D)? Apakah teman-teman sadar DPR tidak punya pengaruh apapun terhadap KPK selain RUU KPK ini? Tolong objektif, ya! Gunakan logika. Hehe

Sedikit informasi tambahan, Komisi III DPR RI pernah mencoba berkontribusi dalam pemilihan pimpinan KPK. Tentu masuk akal jika banyak yang menentang tindakan tersebut. Siapa mereka memang? Sudah paling benar kalau pimpinan KPK dipilih dari, oleh dan untuk orang-orang KPK.

Suka tidak suka, kita semua harus menerima bahwa KPK bukan diisi malaikat-malaikat tanpa cela namun manusia. Tidak mungkin KPK bersih total, minimal dari kepentingan walaupun status KPK adalah lembaga independen. Oleh karena itu, kehadiran pengawas menjadi vital untuk memastikan KPK tidak menjadi kaisar di negara ini. Di satu sisi, KPK sendiri memiliki tugas dan wewenang untuk mengawasi kinerja instansi lain dalam rangka menjalankan fungsinya memberantas korupsi. Sebetulnya ini adalah salah satu bentuk kisah klasik dari pertanyaan siapa yang mengawasi si pengawas? Ini semua adalah produk logika dalam rangka mengejar sistem yang ideal, dalam kasus ini sistem kenegaraan dan seluruh tetek-bengek nya.

Lalu mengenai logika, sebetulnya saya tidak menemukan kesalahan logika pada tingkatan fundamental dari RUU KPK yang digodok oleh Presiden Republik Indonesia bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang berperan menyetujui RUU tersebut. Alasannya sudah saya jelaskan sebelumnya — KPK juga butuh diawasi. Lalu kenapa banyak kalangan masyarakat langsung kebakaran jenggot?

Karena keterlibatan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang notabene sudah kehilangan kepercayaan rakyat. Titik. Jujur, deh!

Sekali lagi, social judgment is a bitch. Terang-terangan saja, pernah terlintas di linimasa Twitter saya sebuah tweet yang menyatakan bahwa anggota Dewan Pengawas dipilih oleh DPR RI. Mampus, hoax! Di Instagram juga pernah ada sebuah komik yang menggambarkan seorang penyidik KPK meminta izin Dewan Pengawas lalu Dewan Pengawas menghubungi anggota DPR dan bertanya “Woy, kalau ente disadap boleh, gak?” dan dijawab oleh anggota DPR “Ya kagak lah, bro!” lalu berakhir dengan tidak diberikannya izin oleh Dewan Pengawas kepada penyidik KPK. Itu komik terinspirasi dari mana? Yang jelas secara objektif bukan dari negara kita ini sih kalau begitu plot nya.

Apakah ini berarti saya berada di pihak Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia? Tentu tidak. Saya sadar juga di sana kotor — sangat kotor. Hanya saja, saya sebagai individu yang berlatar belakang pendidikan ilmu eksak sangat benci ketika fakta diobrak-abrik seenaknya. Jangan menimpakan kesalahan kepada yang tidak bersalah. Benci DPR? Silakan. Itu urusan pribadi. Benci buta sampai menyebar hoax? Silakan pikir sendiri. Kalau teman-teman pembaca memiliki integritas, jawaban pertanyaan tersebut sudah jelas. Nyatakan porsi kesalahan siapapun dengan objektif. Kalau begini terus, akan jadi kebiasaan mencari kambing hitam. Percaya, deh! Lalu terkait Presiden Republik Indonesia — beliau bukan dewa yang tak bercela juga. Yang membedakan politisi buruk dengan politisi bagus adalah — bukan main bersih vs main kotor — tapi main cantik atau tidak. Silakan interpretasi sendiri, saya sedang tidak berniat menuduhkan sesuatu kepada bapak presiden kita tercinta.

Jadi, yang mau saya tekankan dalam tulisan ini adalah critical thinking itu sulit. Pendidikan sampai bergelar profesor pun bukan jaminan bahwa seseorang mampu memisahkan mana yang berasal dari logika dan mana yang berangkat dari sentimen atau perasaan. Sedikit fun-fact yang tidak fun lagi, salah satu profesor di kampus saya masih ada yang punya sentimen anti-Tionghoa, loh, spesifik terkait produk yang digunakan. Padahal jelas sentimen tersebut tidak logis samasekali.

Dengan berakhirnya tulisan tentang RUU KPK ini, saya tutup juga rangkaian tulisan Trilogi Orde Baik ini. Apapun yang saya tuliskan dalam tiga tulisan berseri ini hanya buah pemikiran saya (dibantu beberapa pihak) dan tentunya masih banyak yang dapat dikembangkan dari apa yang telah tertulis sejauh ini. Apabila terdapat kekurangan dan kesalahan, saya pribadi mohon maaf. Pesan saya, ingat bahwa masih banyak hal terkait negara ini yang dapat (dan harus) kita perbaiki. Namun sadari juga bahwa dari kita rakyat jelata sampai Presiden dan DPR hanya manusia. Boleh mengacu kepada konsep yang ideal, tapi sadari bahwa tidak mungkin mencapai keadaan yang murni ideal. Seperti kata Eric Schlosser dalam bukunya yang berjudul Command and Control:

The human mind cannot construct something that is infallible.

Sumber:

  • Draft RUU KPK
  • Apapun dari sosmed
  • Kompas, Tempo, dkk.

--

--

Wisnu!
Wisnu!

Written by Wisnu!

{{ insert_pretentious_bullshit_here }}

No responses yet